MODAL
KERJA
DALAM
KEUANGAN SYARIAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas
penyediaan dan untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit
unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pembiayaan produktif dan konsumtif. Sedangkan menurut keperluannya, pembiayaan
juga dapat dibagi menjadi dua yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan
investasi.
Selain pembiayaan konsumsi dan investasi, bank syariah juga menyediakanpembiayaan modal kerja bagi pengusaha yang membutuhkan tambahan modal kerja, baik untuk
keperluan membeli bahan baku, pembayaran biaya produksi, pengadaan barang dan
jasa, pengerjaan proyek maupun untuk kebutuhan modal kerja lainnya.
Jenis kontrak pembiayaan modal
kerja yang ditawarkan dapat
dipilih sesuai kebutuhan, bisa menggunakan skema jual beli (murabahah) ataupun
dengan skema kemitraan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan konsep dasar modal kerja?
1.2.2. Apa yang dimaksud dengan pembiayaan modal kerja syariah?
1.2.3. Apa yang dimaksud dengan pembiayaan likuiditas?
1.2.4. Apa yang dimaksud dengan pembiayaan piutang?
1.2.5. Apa yang dimaksud dengan pembiayaan persediaan?
1.2.6. Apa yang dimaksud dengan pembiayaan untuk perdagangan?
1.2.7. Apa yang dimaksud dengan pembiayaan investasi?
1.2.8. Apa yang dimaksud dengan pembiayaan konsumtif syariah?
1.3.Tujuan Penulisan
1.3.1. Untuk mengetahui konsep dasar modal kerja
1.3.2. Untuk mengetahui pembiayaan modal kerja syariah
1.3.3. Untuk mengetahui pembiayaan likuiditas
1.3.4. Untuk mengetahui pembiayaan piutang
1.3.5. Untuk mengetahui pembiayaan persediaan
1.3.6. Untuk mengetahui pembiayaan untuk perdagangan
1.3.7. Untuk mengetahui pembiayaan investasi
1.3.8. Untuk mengetahui pembiayaan konsumtif syariah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Konsep Dasar Modal Kerja
Sebelum membahas pembiayaan modal kerja syariah sejenak kita menelaah
tentang berbagai konsep dasar yang berkaitan dengan modal kerja yang mencakup
tentang konsep modal kerja, penggolongan modal kerja, unsur-unsur kerja
permanent, perputaran modal kerja dan alokasi modal kerja.
2.1.1. Konsep Modal Kerja
Konsep modal kerja
mencakup tiga hal, yaitu:
a. Modal Kerja (Working Capital Assets)
Modal kerja adalah modal lancar yang dipergunakan untuk mendukung
operasional perusahaan sehari-hari sehingga perusahaan dapat beroperasi secara
normal dan lancar. Beberapa penggunaan modal kerja antara lain adalah untuk
pembayaran persekot pembelian bahan baku, pembayaran upah buruh, dan lain-lain.
b. Modal Kerja Brutto (Gross Working Capital)
Modal kerja brutto merupakan keseluruhan dari jumlah aktiva lancar.
Pengertian modal kerja brutto di dasarkan pada jumlah atau kuantitas dana yang
tertanam pada unsur-unsur aktiva lancar. Aktiva lancar merupakan aktiva yang
sekali berputar akan kembali dalam bentuk semula.
c. Modal Kerja Netto (Net Working Capital)
Modal kerja netto merupakan kelebihan aktiva lancar atas hutang lancar.
Dengan konsep ini, sejumlah tertentu aktiva lancar harus digunakan untuk
kepentingan pembayaran hutang lancar dan tidak boleh dipergunakan untuk
keperluan lain.
2.1.2. Penggolongan Modal Kerja
Berdasarkan penggunaannya, modal kerja dapat diklasifikasikan menjadi 2
(dua) golongan, yaitu:
a. Modal kerja permanen
Modal kerja permanen
berasal dari modal sendiri atau dari pembiayaan jangka panjang. Sumber
pelunasan modal kerja permanen berasal dari laba bersih setelah pajak ditambah
dengan penyusutan.
b. Modal kerja seasonal
Modal kerja seasonal
bersumber dari modal jangka pendek dengan sumber pelunasan dari hasil
penjualan barang dagangan, penerimaan hasil tagihan termin, atau dari penjualan
hasil produksi.
2.1.3. Unsur-unsur Modal Kerja Permanen
Unsur-unsur modal kerja permanen terdiri dari:
a. Kas
Kas perusahaan harus
dipelihara dalam jumlah yang cukup agar dapat memenuhi kebutuhan setiap saat
diperlukan. Pemeliharaan sejumlah tertentu kas dimaksudkan untuk berbagai
keperluan baik untuk transaksi sehari-hari, juga untuk antisipasi.
Jumlah kas yang cukup
memungkinkan perusahaan melakukan hal-hal sebagai berikut:
·
Memanfaatkan peluang
potongan harga dari pemasok jika pembayaran dilakukan sebelumm jatuh tempo,
atau pembayaran dilakukan di muka.
·
Memanfaatkan peluang
diskon dari pemasok jika pembayaran dilakukan secara unai.
·
Memberikan keleluasaan
bagi manajemen perusahaan dalam memanfaatkan peluang bisnis yang datangnya
tidak dapat diperkirakan.
b. Piutang dagang
Pemberian piutang
dagang oleh perusahaan kepada pelanggan merupakan salah satu strategi
mengantisipasi persaingan dengan tujuan untuk menjaga keberlangsungan hubungan
dengan pelanggan.
Besar kecilnya piutang
dagang perusahaan ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut:
·
Kebijakan penjualan
yang diterapkan
·
Volume penjualan kredit
·
Kebijakan penagihan
·
Kontinuitas penjualan
c. Persediaan (stock) bahan baku
Jumlah persediaan/stock
bahan baku yang selalu tersedia di perusahaan dapat digolongkan menjadi
2(dua) bagian, yaitu:
·
Stock untuk memenuhi kebutuhan produksi normal
·
Stock untuk antisipasi guna menjaga kontinuitas produksi (iron stock)
2.1.4. Perputaran Modal Kerja
Peningkatan penjualan perusahaan harus didukung oleh peningkatan produksi
sehingga kelangsungan penjualan dapat terjamin. Peningkatan produksi sampai
dengan batas maksimum kapasitas yang ada membutuhkan tambahan modal kerja.
Tambahan modal kerja dapat dipenuhi dari sejumlah kas yang tersedia dari hasil
penjualan. Selanjutnya kas dimaksud digunakan untuk membeli bahan baku sehingga
peruses prosuksi dapat berkesinambungan.
Perputaran modal kerja dimaksud merupakan suatu siklus yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
2.1.5. Alokasi Modal Kerja
Pengalokasian modal kerja diperuntukkan kepada unsur-unsur modal kerja,
yaitu:
a. Alokasi kepada piutang dagang (Account Receivable Financing)
b. Pembelanjaan persediaan barang (Inventory Financing)
2.2.Pembiayaan Modal Kerja Syariah
Secara umum, yang dimaksud dengan Pembiayaan Modal Kerja (PMK) syariah
adalah pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai
kebutuhan modal kerja usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Jangka
waktu pembiayaan modal kerja maksimum 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang
sesuai dengan kebutuhan. Penpanjangan fasilitas PMK dilakukan atas dasar hasil
analisis terhadap debitur dan fasilitas pembiayaan secara keseluruhan.
Pembiayaan modal kerja adalah suatu pembiayaan untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhan, antara lain yaitu untuk peningkatan produksi, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, kemudian untuk keperluan perdagangan atau
peningkatan utility of place dari suatu barang.
Sedangkan pembiayaan modal kerja syariah adalah suatu pembiayaan jangka pendek
yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja usahanya
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Fasilitas dari PMK itu sendiri dapat
diberikan kepada seluruh sektor/subsektor ekonomi yang dinilai prospek, tidak
bertentangan dengan syariat islam dan tidak dilarang oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku serta yang dilakukan jenuh oleh Bank Indonesia.
Pemberian fasilitas pembiayaan modal kerja kepada debitur/calon debitur dengan
tujuan untuk mengeliminasi risiko dan mengoptimalkan keuntungan bank.
Modal kerja syariah dapat dibagi menjadi beberapa komponen yaitu: sebagai
alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory)
yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw material),
persediaan barang dalam proses (work in process), dan persediaan barang
jadi (finished goods . Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja
merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash
financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan
pembiayaan persediaan (inventory financing).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan analisa pemberian
pembiayaan antara lain:
1. Jenis usaha. Kebutuhan modal kerja masing-masing jenis usaha berbeda-beda.
2. Skala usaha. Besarnya kebutuhan modal kerja suatu usaha sangat tergatung
kepada skala usaha yang dijalankan. Semakin besar usaha yang dijalankan,
kebutuhan modal kerja akan semakin besar.
3. Tingkat kesulitan usaha yang dijalankan. Beberapa pertanyaan yang harus
dijawab dalam melakukan analisis pembiayaan antara lain:
a. Apakah proses produksi membutuhkan, tenaga ahli/terdidik/terlatih/ dengan
menggunakan peralatan yang canggih ?
b. Apakah perusahaan memiliki tenaga ahli dan peralatan yang dibutuhkan untuk
menunjang proses produksi ?
c. Apakah perusahaan memiliki sumber pasokan bahan baku yang tetap yang dapat
menjamin kesinambungan proses produksi ?
d. Apakah perusahaan memiliki pelanggan tetap ?
4. Karakter transaksi dalam sector usaha yang akan di biayai. Dalam hal ini
yang harus ditelaah adalah:
a. Bagaimana system pembayaran pembelian bahan baku ?
b. Bagaimana system penjualan hasil produksi, tunai atau cicilan ?
Dalam hal pemberian Pembiayaan Modal Kerja, bank juga harus mempunyai daya
analisis yang kuat tentang sumber pembayaran kembali, yakni sumber pendapatan (income)
proyek yang akan dibiayai. Hal ini dapat diketahui dengan cara
mengklasifikasikan proyek menjadi:
1. Proyek dengan kontrak
2. Proyek tanpa kontrak
Berdasarkan akad yang digunakan dalam produk pembiayaan syariah, jenis
Pembiayaan Modal Kerja (PMK) dapat dibagi menjadi 5 macam, yakni:
1. PMK mudharabah
2. PMK istishna’
3. PMK salam
4. PMK murabahah
5. PMK ijarah
Bank syariah dapat memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja dengan menjalin
hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang
dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib).
Skema pembiayaan seperti ini disebut dengan mudharabah (trust
finanshing). Fasilitas ini dapat diderikan untuk jangka waktu tertentu,
sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang telah
disepakati.setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut
beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
2.3. Pembiayaan Likuiditas (Cash Financing)
Pembiayaan likuiditas digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat
terjadinya ketidaksesuaian (mismatched)
antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah.
Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas
cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut rekening koran.
Atas pemberian fasilitas ini bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas
jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Sedangkan bank syariah dapat menyediakan
fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau yang disebut compensating
balance. Melalui fasilitas ini nasabah harus membuka rekening giro, dan
bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah mangalami
situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang
tersedia sehingga menjadi negatif sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam
akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun,
kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2.4. Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang menjual barangnya
dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas
modal kerja yang dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas
berupa:
2.4.1. Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan
dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu bank meminta cessie
atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah ber-kewajiban untuk
menagih sendiri piutangnya. Tetapi, jika bank merasa perlu, dengan menggunakan
cessie tersebut bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang.
Hasil penagihan tersebut pertama-tama digunakan untuk membayar pinjaman nasabah
berikut bunganya, dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata
piutang tersebut tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman
tersebut berikut bunganya kepada bank.
2.4.2. Anjak Piutang (Factoring)
Pada fasilitas ini, bank syariah, memberikan pembiayaan piutang dalam
bentuk al-qardh di mana bank tidak boleh meminta imbalan, kecuali biaya
administrasi. Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas
pengambilalihah piutang, yaitu yang disebut hiwalah. Tetapi untuk fasilitas ini
pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya
administrasi dan biaya penagihan. Dengan demikian, bank syariah meminjamkan
uang (qardh) sebesar piutang yang tertera dalam dokumen piutang (wesel tagih
atau promes) yang diserahkan kepada bank tanpa potongan. Akan tetapi jika
ternyata pada saat jatuh tempo hasil tagihan itu digunakan untuk melunasi
hutang nasabah kepada bank. Tetapi bila ternyata piutang tersebut tidak
ditagih, maka nasabah harus membayar kembali hutangnya itu kepada bank. Selain
itu, sebagian ulama memberikan jalan keluar berupa pembelian surat hutang (bai’
al-dayn), tetapi sebagian ulama melarangnya .
2.5. Pembiayaan Persediaan (Inventory Financing)
2.5.1. Bai’ al-Murabahah
Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri atas biaya pengadaan
bahan baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan
menjadi barang setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap utuk di
jual. Bila barang jadi itu dijual untuk kredit, ia berubah menjadi piutang dan
melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
Pembiayaan ini juga dapat diberikan kepada nasabah yang hanya membutuhkan
dana untuk pengadaan bahan baku dan bahan penolong. Sementara itu, biaya proses
produksi dan penjualan, seperti upah tenaga kerja, biaya pengepakan, biaya
distribusi, serta biaya-biaya lainnya, dapat ditutup dalam jangka waktu sesuai
dengan lamanya perputaran modal kerja tersebut, yaitu dari pengadaan persediaan
bahan baku sampai terjualnya hasil produksi dan hasil penjualan diterima dalam
bentuk tunai (cash).[3]
2.5.2. Bai’ al-Istishna’
Bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untuk proses produksi sampai
menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al-istishna’.
Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang
disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi dtambah
keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan
pembayaran dimuka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi.
Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work
in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap
berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa
bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah
keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai
dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal,
pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi
ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, produk ersebut statusnya menjadi milik bank. Tentu
saja bank tidak termasuk membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk
segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang
lebih bersamaan dengan proses pemberian fasilitas bai’ al-istishna’ tersebut,
bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang
dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktiknya, potential buyer tersebut
telah diproduksi nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan
penjulan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa
istishna’ parallel atau istishna’ wal-murabahah, dan bila hasil produksi
tersebut disewakan, skemanya menjadi istishna’ wal-ijarah. Bank memperoleh
keuntungan dari selisih harga beli (istishna’) dengan harga jual (murabahah)
atau dari hasil sewa (ijarah).
2.5.3. Bai’as-Salam
Untuk produksi yang prosesnya tidak dapat diikuti, seperti produksi
pertanian, bank dapat memberikan fasilitas bai’ as-salam. Melalui fasilitas
ini, bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran dimuka
secara sekaligus dan nasabah berkewajiban men-deliver barang
tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang beramaan,
bank dapat mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi ini disebut salam
parallel.
Bila produksi itu dilakukan secara terus-menerus dan perputaran modal kerja
tersebut telah sedemikian secepatnya sehingga nasabah memerlukan pembiayaan
modal kerja secara evergreen, skema pembiayaan yang paling tepat
adalah al-mudharabah.
2.6. Pembiayaan untuk Perdagangan
2.6.1. Perdagangan Umum
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilaku-kan
dengan target pembeli siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah
disediakan di tempat penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang
besar (whole seller). Pada umumnya perputaran modal kerja (working capital
turnover) perdagangan semacam ini sangat tinggi, tetapi pedagang harus
mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup, karena barang-barang yang dijual
itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau telah dikuasai penjual. Untuk
pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini skema yang paling tepat adalah
skema mudharabah.
2.6.2. Perdagangan Berdasarkan Pesanan
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau
diselesaikan di tempat penjual, yaitu seperti perdagangan antar kota,
perdagangan antar pulau, atau perdagangan antar negara. Pembeli terlebih dulu
memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang
atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya pembeli hanya akan
membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya. Hal ini untuk
menghindari kemungkinan risiko akibat ketidakmampuan penjual memenuhi pesanan,
atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang dikirimkan dengan spesifikasi
yang dimaksud dalam surat penawaran atau pemesanan.
Berdasarkan pesanan itu penjual lalu mengumpulkan
barang-barang yang diminta, dengan cara membeli atau memesan, baik dari
produsen maupun dari pedagang lainnya. Setelah terkumpul, barulah dikirimkan kepada
pembeli sesuai pesanan. Apabila barang telah dikirim, maka penjual juga
menghadapi kemungkinan risiko tidak dibayarnya barang yang dikirimnya itu.
Untuk mengatasi masalah tersebut Bank syariah telah dapat mengadopsi mekanisme
L/C dengan menggunakan skema al wakalah, al musyarakah, al mudha-rabah, ataupun
al murabahah. Dalam hal al wakalah, bank syariah hanya memperoleh pendapatan
berupa fee atas jasa yang diberikannya.
2.7. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi diberikan para nasabah untuk keperluan investasi,
yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha,
ataupun pendirian proyek baru.
Ciri-ciri investasi
adalah:
1. Untuk mengadakan barang-barang modal
2. Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah
3. Berjangka waktu menengah dan panjang.
Pada umumnya, pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan
pengendapannya cukup lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyek arus kas yang
mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehingga akan dapat diketahui
berapa dana yang terseda setelah semua kewajiban terpenuhi. Setelah itu,
barulah disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali)
pembiayaan.
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka pembiayaan
investasi bank syariah menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal
ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap
bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih
kembali, baik dengan menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan
menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada
maupun dengan mengundang pemegang saham baru.
2.8. Pembiayaan Konsumtif Syariah
Secara defenitif, konsumsi adalah kebutuhan individual meliputi kebutuhan
baik barang ataupun jasa yang tidak dipergunakan untuk tujuan usaha. Dengan
demikian yang dimaksud pembiayaan konsumtif adalah jenis pembiayaan yang
diberikan untuk tujuan di luar usaha dan umumnya bersifat perorangan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pembiayaan modal kerja adalah suatu pembiayaan untuk memenuhi berbagai
macam kebutuhan, antara lain yaitu untuk peningkatan produksi, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, kemudian untuk keperluan perdagangan atau
peningkatan utility of place dari suatu barang.
Sedangkan pembiayaan modal kerja syariah adalah suatu pembiayaan jangka
pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja
usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Jenis-jenis pembiayaan dalam modal kerja syariah adalah pembiayaan
likuiditas, pembiayaan piutang, pembiayaan persediaan, pembiayaan untuk
perdagangan, pembiayaan investasi, dan pembiayaan konsumtif syariah.
3.2. Saran
Meskipun penulis menginginkan
kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak
kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya
pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke
depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Antono, Muhammad Syafi’I. 2001. Bank Syariah dari Teori Ke
Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Karim, Adiwarman A. 2009. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
ijin copas
BalasHapus