Tugas kelompok DosenPembimbing
Perekonomian indonesia Zulhaida,
SE
Sektor Kehutanan
Disusun
oleh :
DAVID KURNIAWAN
LISMAWATI
OKI FIRNADIA NINGSIH
RIZKA MAULITA
ROBBI
KURNIADI
SAMIUN KASRI
JURUSAN
MANAJEMEN
FAKULTAS
EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2017
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak akan
sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Harapan
kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya lebih baik.
Makalah
ini kami akui masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Pekanbaru, November 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul/cover ........................................................................... i
Prakata ........................................................................... ii
Daftar
isi ........................................................................... iii
Bab
1 : pendahuluan
Sektor
Kehutanan Dalam Perdagangan Internasional ................... 1-3
Bab
2 : isi
Permasalahan
Sektor Kehutanan ... 4-20
Kebijakan
Pemerintah 20-28
Bab
3 : penutup
Kesimpulan ...................................................................... 29-30
Daftar
Pustaka ........................................................................... 31
BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
SEKTOR KEHUTANAN DALAM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
Akhir-akhir ini sektor kehutanan
menjadi salah satu topik yang menarik untuk diperbincangkan dalam konteks
perekonomian Internasional. Pasalnya sektor ini memiliki beberapa alasan,antara
lain:
a. Permintaan
terhadap produk-produk kehutanan selalu meningkat. Meskipun demikian,
perdagangan atas produk kehutanan tidak banyak yang diperdagangkan dalam pasar
global dan hanya terfokus pada konteks regional sehingga diperlukan perluasan
pasar.
b. Produksi
kehutanan yang berasal dari hutan tropis hanya memiliki porsi kecil dalam pasar
global.
c. Negara
berkembang hanya mendapat porsi kecil dalam pasar global. Negara berkembang ini
hanya didominasi oleh Indonesia, Malaysia, dan Republik Rakyat Cina (RRC).
Sebagai
hasil Putaran Uruguay dari World Trade Organization (WTO), produk kehutanan
dikategorikan sebagai produk industri, sehingga tidak termasuk dalam Agreement
on Agriculture. Meskipun
demikian, terdapat beberapa pengaturan yang berlaku bagi produk kehutanan
sebagaimana juga berlaku bagi produk pertanian, antara lain Agreement on the
Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement) dan the
Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement).
Beberapa isu
yang menjadi perhatian dalam perdagangan internasional dalam kaitannya dengan
produk kehutanan antara lain sebagai berikut:
a. Menyangkut
Tarif.
Secara
umum, tarif untuk produk kehutanan khususnya di negara maju sebenarnya tidak
tinggi, yaitu sekitar 5 persen. Penurunan tarif difokuskan untuk beberapa pasar
lain yang memberikan tarif sekitar 10-15 persen, terutama untuk produk seperti
plywood.
Namun
sebenarnya banyak negara yang dapat menurunkan tarif di bidang kehutanan
melalui langkah-langkah regional seperti ASEAN, NAFTA, dan juga dapat
mendapatkan fasilitas yang diberikan kepada negara berkembang dengan General
System of Preferences (GSP).
b. Menyangkut
Hambatan Non-Tarif atau Non-Tariff-Measures (NTMs).
Beberapa
NTMs yang dapat mempengaruhi perdagangan internasional atas hasil hutan antara
lain:
a. Quantitive
Restrictions; biasanya dengan penerapan kuota atas produk kehutanan. European
Union, misalnya, menerapkan kuota untuk fibre-building boards, builders'
woodwork dan beberapa produk furniture
b. Phytosanitary
and technical regulations and standards; Standard dan pengaturan phytosanitary
(kesehatan tanaman) biasanya diberlakukan atas dasar pertimbangan lingkungan
hidup. Beberapa pengaturan yang mempengaruhi produk kehutanan antara lain:
larangan panel kayu untuk menggunakan formaldehyde glues, yaitu gula yang dapat
membahayakan kesehatan manusia; atau larangan untuk beberapa metode pengawetan
kayu yang tidak ramah lingkungan hidup
c. Export Restrictions;
termasuk diantaranya pajak ekspor, larangan ekspor, dan pengaturan lainnya.
Hambatan ekspor ini biasanya berlaku untuk produk seperti logs, sawnwood dan
plywood. Hambatan eskpor biasanya diterapkan untuk menambah pemasukan negara
dan melindungi industri dalam negeri.
Selain isu diatas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu didiskusikan lebih jauh, yaitu mengenai Trade Impediments (hambatan perdagangan).
Selain isu diatas, terdapat beberapa permasalahan yang perlu didiskusikan lebih jauh, yaitu mengenai Trade Impediments (hambatan perdagangan).
Trade
Impediments adalah hambatan-hambatan yang legal berdasarkan ketentuan GATT-WTO,
namun memiliki implikasi yang besar terhadap perdagangan produk kehutanan. Trade
impediments biasanya berdasarkan atas motif perlindungan lingkungan hidup, dan
tidak sedikit yang merupakan langkah sukarela sehingga tidak terkait dengan
kebijakan negara.Adapun beberapa contoh sebagai berikut:
a. Hambatan yang
berkaitan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Negara dapat
menetapkan kebijakan atas dasar perlindungan ekosistem hutan yang dapat
menghambat perdagangan. Contoh yang diberikan antara lain metode pengangkutan,
pengolahan, dan konsumsi produk kehutanan, energi yang digunakan dalam proses
pengolahan, serta masalah pengelolaan polusi dan pembuangan limbah produksi.
b.
Larangan
yang dikeluarkan oleh pemerintahan daerah (local governments).
Kebijakan pemerintah daerah/negara bagian dapat mempengaruhi
perdagangan produk kehutanan, sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, Uni
Eropa, dan Australia.
c. Sertifikasi
produk kehutanan banyak menuai isu, baik dalam kaitannya dengan
perdagangan internasional atau dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan
sertifikasi produk kehutanan, setiap produk memiliki status yang menentukan
negara asal produk tersebut.
d. Hambatan
dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna (CITES) adalah perjanjian internasional yang mengandung pengaturan
yang dapat menghambat aktivitas perdagangan internasional. Dalam CITES, setiap
negara berhak untuk mengeluarkan ijin atas perdagangan spesies langka.
Aktivitas dari gerakan perlindungan lingkungan hidup adalah mencoba memasukan
spesies-spesies ke dalam Appendix CITES sehingga menjadi produk kehutanan yang
ilegal untuk diperdagangkan.
Berbagai permasalahan ini merupakan salah satu bukti
sulitnya upaya harmonisasi antara perdagangan internasional dengan perlindungan
lingkungan hidup. Salah satu isu yang menjadi perhatian dalam Konferensi
Tingkat Menteri WTO di Seattle, adalah suara aktivis lingkungan hidup mengenai
dampak-dampak negatif apabila diadakan liberalisasi perdagangan di bidang
kehutanan. Penurunan tarif dan penghapusan hambatan perdagangan dapat
menyebabkan deforestation yang akan banyak merugikan negara berkembang.
Meskipun WTO sudah memiliki komisi khusus untuk membahas kedua sektor yang
saling berkaitan ini, namun sangat sulit untuk dicapai penyelesaian.
BAB II
ISI
2.1 PERMASALAHAN SEKTOR KEHUTANAN
Sekitar
70% daratan di Indonesia berupa kawasan hutan Negara. Pengelolaan hutan tersebut berada
pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pengelolaan hutan memberikan tambahan PAD (Pendapatan Asli
Daerah), membuka lapangan kerja bagi masyarakat dan menggiatkan sector ekonomi. Namun pemanfaatan hutan yang
berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hutan. Dampak kerusakan hutan bagi
perekonomian hanyalah bagian kecil dari total dampak yang sebenarnya. Dampak
ekonomi tidak mencerminkan seluruh dampak yang terjadi. Fungsi hutan sebagai daya dukung
lingkungan justru memberi peran lebih besar.
Terdapat berbagai faktor yang
menyebabkan terjadinya peningkatan deforestasi dan degradasi hutan, antaralain;
1. Akibat Alam
- Letusan Gunung Berapi.
- Naiknya air permukaan laut dan tsunami
- Serangan hama dan penyakit.
2.
Akibat Ulah Manusia
·
Kebakaran
hutan.
No.
|
PROVINSI
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
1
|
Aceh
|
-
|
13,00
|
-
|
155,66
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
2
|
Bali
|
-
|
250,00
|
60,50
|
30,00
|
8,50
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
3
|
Bangka
Belitung
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
4
|
Banten
|
-
|
-
|
-
|
2,00
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
5
|
Bengkulu
|
0,50
|
-
|
-
|
5,25
|
181,00
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
6
|
DKI
Jakarta
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
7
|
Gorontalo
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2.082,74
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
8
|
Jambi
|
89,00
|
11,25
|
199,10
|
3.470,61
|
19.528,00
|
36,80
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
9
|
Jawa
Barat
|
1.278,55
|
1.945,50
|
252,80
|
552,69
|
3.292,40
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
10
|
Jawa
Tengah
|
712,24
|
454,00
|
31,20
|
159,76
|
6.995,34
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
11
|
Jawa
Timur
|
48,35
|
2.960,05
|
1.352,14
|
4.975,32
|
975,95
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
12
|
Kalimantan
|
-
|
577,40
|
22,70
|
3.556,10
|
3.191,98
|
1.859,05
|
||||||||
|
Barat
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
13
|
Kalimantan
|
-
|
60,50
|
417,50
|
341,00
|
1.714,89
|
160,00
|
||||||||
|
Selatan
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
14
|
Kalimantan
|
22,00
|
55,15
|
3,10
|
4.022,85
|
122.882,90
|
912,89
|
||||||||
|
Tengah
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
15
|
Kalimantan
|
148,80
|
51,50
|
-
|
325,19
|
19.179,86
|
1.197,20
|
||||||||
|
Timur
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
16
|
Kalimantan
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
3,00
|
||||||||
|
Utara
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
17
|
Kepulauan
Riau
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
18
|
Lampung
|
31,00
|
-
|
-
|
22,80
|
19.695,86
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
19
|
Maluku
|
-
|
-
|
-
|
179,83
|
3.394,48
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
20
|
Maluku
Utara
|
-
|
-
|
-
|
6,50
|
60,00
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
21
|
Nusa
Tenggara
|
-
|
-
|
12,00
|
3.977,55
|
1.462,04
|
-
|
||||||||
|
Barat
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
22
|
Nusa
Tenggara
|
-
|
553,20
|
649,90
|
980,87
|
372,43
|
64,37
|
||||||||
|
Timur
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
23
|
Papua
|
-
|
-
|
-
|
300,00
|
1.792,44
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
24
|
Papua
Barat
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
25
|
Riau
|
74,50
|
1.060,00
|
1.077,50
|
6.301,10
|
4.040,50
|
1.928,26
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
26
|
Sulawesi
Barat
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
PROVINSI
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
|||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
27
|
Sulawesi
|
31,75
|
45,30
|
40,50
|
483,10
|
720,40
|
18,91
|
||||||||
|
Selatan
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
28
|
Sulawesi
|
-
|
30,83
|
1,00
|
70,73
|
-
|
-
|
||||||||
|
Tengah
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
29
|
Sulawesi
|
85,90
|
346,10
|
13,00
|
2.410,86
|
57,82
|
184,86
|
||||||||
|
Tenggara
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
30
|
Sulawesi
Utara
|
-
|
1,80
|
0,25
|
236,06
|
18.268,93
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
31
|
Sumatera
Barat
|
-
|
3,50
|
-
|
120,50
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
32
|
Sumatera
|
84,50
|
-
|
484,15
|
8.504,86
|
30.984,98
|
266,49
|
||||||||
|
Selatan
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
33
|
Sumatera
Utara
|
5,00
|
1.181,00
|
295,40
|
3.219,90
|
177,00
|
7.973,01
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||
34
|
Yogyakarta
|
-
|
6,45
|
6,00
|
0,27
|
-
|
-
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|||||||||
TOTAL
|
2.612,09
|
9.606,53
|
4.918,74
|
44.411,36
|
261.060,44
|
14.604,84
|
|||||||||
·
Illegal
logging (Penebangan liar).
·
Perladangan
berpindah.
·
Perkebunan
monokultur.
·
Perkebunan
kelapa sawit.
·
Konversi
lahan gambut menjadi sawah.
·
Pertambangan.
·
Transmigrasi.
·
Penggembalaan
Ternak dalam hutan
·
Pemukiman
penduduk.
·
Pembangunan
perkantoran.
·
Di
era otonomi daerah, areal perkantoran tidak hanya terdapat pada daerah
perkotaan yang ramai. Komplek perkantoran juga dibangun pada lahan-lahan hutan,
terutama kabupaten yang baru. Pemerintah daerah di kabupaten baru membuka lahan
hutan untuk membuat kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan perdagangan
dan juga untuk areal perkantoran. Untuk menunjang kebutuhan tersebut pemerintah
daerah mengajukan izin alih fungsi lahan ke kementerian kehutanan.
·
Pembangunan
infrakstruktur perhubungan seperti jalan, lapangan udara, pelabuhan kapal, dan
lain-lain.
3. Akibat Kebijakan
Akar
masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kinerja pengurusan hutan yang baik terfokus
pada masalah prakondisi, antara lain: konflik kebijakan penataan ruang,
lemahnya penegakan hukum, rendahnya kapasitas pengurusan hutan, serta ketiadaan
institusi pengelola untuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung
a. Kebijakan pengelolaan hutan yang
kurang tepat.
Kerusakan hutan juga dapat terjadi karena kebijakan yang
dibuat lebih memperhatikan segi ekonomis dibandingkan dengan segi
ekologis.Kebijakan pengelolaan hutan yang kurang tepat dari pemerintah sebagai
suatu “pengrusakan hutan yang terstruktur” karena kerusakan tersebut didukung
oleh regulasi dan ketentuan yang berlaku. Salah satu bentuk kebijakan yang
kurang tepat adalah target pemerintah yang mengandalkan sumberdaya hutan
sebagai sumber pendapatan baik ditingkat nasional maupun daerah.
b. Deforestasi yang direncanakan
Deforestasi yang direncanakan adalah konversi yang terjadi
di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang dilepaskan menjadi
kawasan budidaya non kehutanan (KBNK atau APL). Konversi yang direncanakan
dapat juga terjadi di kawasan hutan produksi untuk pertambangan
terbuka.Sedangkan deforestasi yang tidak direncanakan terjadi akibat konversi
hutan yang terjadi di semua kawasan hutan akibat berbagai kegiatan yang tidak
terencana, terutama kegiatan illegal.Berdasarkan analisis data satelit, selama
period 2000-2005, hutan yang dikonversi baik yang direncanakan maupun tidak
direncanakan mencapai 1.089.560 Ha per tahun(Badan
Planologi Kehutanan). Sampai
tahun 2007, total luas deforestasi yang direncanakan mencapai 4.609.551
Ha.Deforestasi yang direncanakan ini mulai marak terjadi setelah tahun 1990,
sehingga laju deforestasi yang direncanakan rata-rata mencapai 230.477 ha per
tahun (21% dari total deforestasi).Dengan demikian laju deforestasi yang tidak
direncanakan sekitar 859.083 Ha per tahun.
Sampai akhir Desember 2010 sudah ada sekitar 520 permohonan
yang diajukan ke Kementerian Kehutanan untuk pelepasan kawasan.Luas kawasan
hutan yang diajukan untuk dilepas rata-rata mencapai 200.000 Ha per pemohon.
Apabila tidak ada kebijakan baru terkait pembatasan pemekaran wilayah dan
pembatasan pemanfaatan ruang, diperkirakan semua HPK yang luasnya sekitar 22,7 Ha
akan habis dalam waktu tidak lebih
dari 10 tahun ke depan. Berdasarkan
hasil kajian IFCA (Kemenhut, 2008), deforestasi yang tidak direncanakan
sebagian besar terjadi di kawasan hutan produksi, kemudian diikuti di kawasan
hutan konservasi dan hutan lindung. Laju deforestasi yang tidak direncanakan
ini diperkirakan akan meningkat ke depan, khususnya pada kawasan hutan yang
aksesnya lebih terbuka, hutan produksi yang tidak ada pemegang izin
pengelolaannya dan hutan lindung. Pada sebagian hutan konservasi, keberadaan
Balai Taman Nasional diharapkan dapat meminimumkan deforestasi yang tidak
direncanakan ini. Sampai dengan akhir 2009, hampir separuh kawasan hutan di
Indonesia (46,5% atau 55,93 juta hektare) tidak dikelola dengan intensif (DKN,
2009)
c. Kurangnya Kebijakan Inovatif
Sejak tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah menerapkan
berbagai program rehabilitasi. Sebagian besar program berasal dan dikelola oleh
pemerintah.Anggaran program berasal dari Pemerintah dan donor internasional dan
alokasinya terfokus pada aspek-aspek teknis.Aspek-aspek non teknis seperti
kelembagaan, pemberdayaan, dan sebagainya belum efektif dikembangkan.Karena itu
wajar apabila program rehabilitasi kurang mendapat dukungan dari masyarakat
setempat, baik yang tinggal di dalam maupun di sekitar wilayah
sasaran.Pendekatan kreatif dan inovatif yang dapat memberikan manfaat hubungan
social-ekonomi jangka panjang antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat
local belum diterapkan pada program
rehabilitasi.
Misalnya Kebijakan pemerintah terhadap pengusaha HPH lebih
pada pengendalian jumlah produksi hasil hutan. Sedangkan hutan alam sebagai
stock tidak menjadi perhatian utama. Hutan alam sebagai stock berupa tegakan
muda, tegakan yang siap ditebang atau menunggu ditebang, tidak menjadi
perhatian untuk dijaga dan dipelihara karena tidak menjadi kriteria dalam
penilaian kinerja pemegang ijin. Kebijakan tersebut menyebabkan perusahaan
enggan melindungi hutan alam dalam kawasan yang dikelola, dan di sisi lain
pengendalian jumlah produksi dengan banyak peraturan menyebabkan ekonomi biaya
tinggi. Perlu inovasi dalam kebijakan agar pengusaha mau melakukan recovery
terhadap hutan
d. Konflik kepemilikan lahan
Konflik atas kepemilikan lahan terjadi karena adanya tumpang
tindih kepemilikan lahan. Konflik tersebut disebabkan oleh ketidakjelasan
kerangka hukum yang mendasarinya, terutama implikasi yang saling bertentangan
antara UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 26/2007 tentang Penataan
Ruang.Kemudian, peraturan-peraturan sektoral yang berbeda, misalnya tentang
kehutanan, hutan tanaman dan pertambangan, kurang sinergis. Selain itu,
peraturan dan tata cara pelaksanaan di berbagai tingkat pemerintahan yang
berbeda belum sinergis atau belum sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi
manusia.
e. Pengelolaan hutan yang kurang
efektif;
Praktek pengelolaan hutan yang kurang efektif terjadi karena
lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat daerah. Sebagai contoh, Unit
Pelaksana Teknis (UPT) pemerintah yang bertugas untuk mengawasi kawasan
konservasi kekurangan dana dan sumber daya manusia. Lemahnya kapasitas
kelembagaan dapat berakibat lemahnya kemampuan dalam meninventarisir potensi
dan kondisi riil sumber daya hutan di tingkat tapak.Pemerintah daerah yang
bertugas untuk mengelola Hutan Lindung tidak melaksanakan peranannya dengan
baik.Selain itu, struktur desentralisasi dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
di tingkat kabupaten dan provinsi masih belum selesai disusun dan
dikembangkan.Sementara itu, tanggung jawab pengelolaan Hutan Produksi sebagian
besar berada di tangan pemegang konsesi yang bekerja dengan pengawasan yang
minim dari pemerintah.
f. Rehabilitasi dilakukan hanya sebatas proyek
Rehabilitas berjalan selama masa periode tertentu saja atau
hanya sebatas masa proyek. Selama lebih dari 30 tahun, kegiatan rehabilitasi
dilaksanakan pada lebih dari 400 lokasi di Indonesia. Namun, pada tahun 2002
total luas areal hutan dan lahan yang terdegradasi telah mencapai 96,3 juta ha
(54,6 juta ha di dalam kawasan hutan dan 41,7 juta ha di luar kawasan hutan).
Factor keberhasilan proyek rehabilitasi antara lain adanya keterlibatan
masyarakat setempat secara aktif, dan dilakukannya intervensi teknis untuk
mengatasi penyebab degradasi hutan. Sampai saat ini factor keberhasilan dari
berbagai proyek rehabilitasi belum tercapai dan sulit untuk bisa dipertahankan
dalam jangka panjang, terutama setelah proyek selesai.
Orientasi keproyekan masih sangat kuat, sehingga
mengakibatkan: a) pemeliharaan yang tidak memadai pada bibit yang telah
ditanam; b) kurangnya keberlangsungan pendanaan setelah proyek selesai karena
tidak adanya mekanisme reinvestasi, kurangnya analisis kelayakan ekonomi yang
memadai atau tidak adanya kepastian integrasi dengan pasar yang jelas; c)
insentif ekonomi yang tidak jelas, mengurangi minat masyarakat untuk ikut
berpartisipasi secara aktif; d) partisipasi masyarakat yang terbatas karena
masalah tenurial yang tidak terselesaikan dan organisasi masyarakat yang tidak
efektif; e) pembangunan kapasitas bagi masyarakat yang tidak efektif; f )
pertimbangan yang tidak memadai terhadap aspek sosial-budaya; dan pada tingkat
yang lebih luas, tidak adanya pembagian hak dan tanggung jawab yang jelas
antara pemangku kepentingan terkait, terutama pemerintah daerah, masyarakat dan
dinas kehutanan.
4.
Lemahnya Penegakan hukum
Lemahnya penegakan hukum dibidang
kehutanan dapat diamati dari hanya sedikit pelanggaran hukum di bidang
kehutanan yang berhasil dituntut dan para pengusaha sebagai pelaku utama justru
dapat menghindari hukuman. Penegakan peraturan perundangan yang tidak efektif
dapat disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut:
a.Substansi peraturan tidak dapat
rnengendalikan biaya transaksi tinggi di luar biaya resmi yang telah ditetapkan.
b. Instansi pemerintah belum menerapkan
peraturan itu sehingga kontrol yang seharusnya dilakukan tidak berjalan.
c. Masyarakat (terrnasuk dunia usaha)
belum memahami isi peraturan atau bahkan tidak mengetahuinya sarna sekali.
d. Sanksi yang mungkin ada dari
implementasi suatu peraturan tidak berjalan, sehingga masyarakat tidak melihat
adanya resiko apabila rnereka rnelanggar peraturan.
e. Biaya yang ditanggung ketika
melakukan pelanggaran peraturan lebih murah daripada bila peraturan dipatuhi.
5.
Kebijakan ekonomi
a.
Rehabilitas memakan biaya yang mahal.
Rehabilitasi hutan dan lahan cenderung dilaksanakan sebagai
kegiatan yang reaktif daripada kegiatan proaktif yang diintegrasikan dengan
pelaksanaan kebijakan pengelolaan hutan yang telah ada.Kegiatan rehabilitasi
selama ini pada umumnya dibiayai dari anggaran pemerintah. Total anggaran
pemerintah yang dikeluarkan untuk proyek rehabilitasi adalah sebesar 85% dari
anggaran kehutanan pemerintah sejak dimulainya Program Inpres pada tahun
1976/77 (H. Pasaribu, 2004). Biaya rehabilitasi per ha secara umum ternyata
lebih besar daripada biaya pembangunan HTI (Rp. 5 juta atau US$ 550 per
ha).Biaya rehabilitasi per ha berkisar antara US$ 43 hingga US$15.221 per ha
tergantung pada sumber pendanaan.Biaya terendah terdapat pada proyek
pemerintah, sementara biaya tertinggi terdapat pada proyek yang didanai lembaga
donor internasional karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk tenaga ahli teknis
asing yang biasanya dihitung sebagai bagian dari biaya proyek.Proyek pemerintah
yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan ternyata lebih mahal daripada proyek
di luar kawasan hutan atau di lahan masyarakat. Secara keseluruhan, besarnya
jumlah anggaran kehutanan yang dialokasikan untuk kegiatan rehabilitasi,
rendahnya luas areal yang berhasil direhabilitasi pada program pemerintah,
serta tingginya biaya per ha, merupakan indikasi kuat bahwa selama ini
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi kurang efektif dari segi pembiayaan dan dana
yang telah dialokasikan.
b. Permintaan Kayu lebih tinggi dari pasokannya
Berdasarkan data kapasitas industri saat ini, diperkirakan
permintaan kayu dari hutan alam akan lebih tinggi dari pasokannya secara
lestari. Diperkirakan tambahan suplai kayu dari penebangan yang illegal sama
dengan yang legal. Penebangan liar terbesar terjadi di kawasan hutan produksi
(60%) dan kemudian di hutan lindung (30%) dan hutan konservasi (10%).Tingkat
penebangan liar diperkirakan sangat tinggi di dalam kawasan hutan produksi yang
tidak ada pemegang izin pengelolaannya; Jumlah IUPHHK Hutan Alam yang
masih aktif saat ini 324 unit dengan luas 28.271.043 Ha (Ditjen Bina Produksi
Kehutanan, 2010).Diperkirakan sekitar 15 juta Ha menerapkan sistem pengelolaan
hutan lestari sedangkan sisanya sekitar 13 juta Ha tidak. Sementara luas hutan
produksi yang tidak ada ijinnya mencapai 20 juta Ha dan sekitar 13 juta Ha
masih baik kondisi hutannya sedangkan yang 7 juta Ha sudah mengalami degradasi
berat (Ditjen Planologi Kehutanan, 2010). Menurut Rencana Strategis
Assosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), ketergantungan suplai kayu dari
hutan alam diperkirakan masih akan meningkat di masa depan. Pada tahun 2009,
bahan baku kayu dari hutan alam sebesar 6,68 juta m3 dan pada tahun 2020
diperkirakan meningkat sampai 15,23 juta m3. Peningkatan suplai kayu dari hutan
alam di masa depan apabila tidak disertai dengan sistem pengelolaan hutan
lestari maka tingkat degradasi hutan alam Indonesia di masa depan akan semakin
tinggi.
c. Adanya inefisiensi ekonomi
pengelolaan hutan produksi.
Dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan, diperoleh data biaya transaksi pengusahaan hutan dan kondisi
irnplementasi kebijakan pengendalian pengusahaan hutan alam produksi, sebagai
berikut :
·
Biaya
pengurusan pengusahaan hutan – di luar biaya tetap dan biaya variable yang
resrni, sekitar 24% – 46% dari biaya variable (Kartodi hardjo, 1998);
·
Biaya
transaksi pengusahaan hutan sebesar Rp 203.000,-/m3. Sehingga terdapatkomposisi
biaya opersional (48%), pungutan kehutanan (31%), biaya transaksi (21%)
(Deperindag dan Sucofindo, 2001)
·
Biaya
pengurusan ijin-ijin dan pengesahan dalam pengusahaan sekitar 43% (APHI, 2001);
·
Terdapat
58 kali inspeksi per tahun yang secara resmi dilakukan oleh 12 instansi pemerintah
terhadap 19 jenis kegiatan pengusahaan hutan (Prasetyo dan Hinrichs, 1999);
·
Setiap
tahun pemegang HPH harus melakukan 43 jenis kegiatan, masing-masing kegiatan
perlu berhubungan dengan 2 sampai 8 instansi. Untuk melakukan hal-hal tersebut
setiap tahun harus melakukan 169 jenis urusan (meja) dan untuk itu harus
menyerahkan 1599 kertas kerja atau peta yang terdiri dari : 256 buku, 510
lembar peta, 7 lembar citra landsat, dan 521 blanko isian. Urusan yang demikian
itu adalah pelaksanaan dari 7 buah PP, 4 Keputusan Presiden, 82 Keputusan
Menteri, dan 20 Keputusan Dirjen (Deperindag dan Sucofindo, 2001);
·
Timbulnya
biaya tersebut di atas masih ditambah lagi dengan biaya yang harus ditanggung
akibat konflik penggunaan kawasan hutan dan lahan yang sampai kini frekwensinya
masih cukup tinggi. Terjadinya biaya transaksi tinggi menyebabkan beberapa
konsekuensi, misalnya:
·
Secara
umum sistem pengelolaan dan pengusahaan hutan yang direncanakan pemerintah
sudah sampai pada kondisi irrasional untuk mencapai pengelolaan hutan Iestari
(PHL). Dari sisi manfaat-biaya, pembiayaan per unit produksi pengusahaan hutan
alam terus meningkat, sehingga jumlah produksi untuk mencapai keuntungan
minimal yang diharapkan, lebih besar daripada jumlah produksi sesuai dengan
daya dukung hutan (AAC). Maka usaha swasta (yang rasional) harus terus
melakukan over cutting jika ingin mempertahankan usahanya. Dengan demikian,
dari pertimbangan finansial, sistem pengusahaan hutan sebenarnya sudah
collapse. System tersebut tidak lagi bisa dibenahi secara teknis, karena secara
inherent sistem dan teknologi yang digunakan tidak lagi mungkin dapat ditopang
oleh sumberdaya hutan (baca: kayu) yang ada. Sistemnya harus diubah jika
pelestarian hutan menjadi tujuannya;
·
Jika
biaya transaksi tinggi maka akan muncul perilaku ‘memilih tanpa perhitungan’
(uncalculating choice). Perilaku tersebut menurut Williamson (1985) disebut
perilaku opportunis. Apabila perilaku opportunis mewabah dikalangan swasta dan
menjangkiti pemerintah maka kebijakan dipastikan tidak dapat berjalan. Semua
masalah dapat diselesaikan dengan “uang”. Pihak yang tidak memiliki uang maka
akan terabaikan dari pusaran “system tersebut”.
6.
Perubahan politik.
Dari tahun 1950-an sampai tahun 1998 pendekatan yang
digunakan dalam kebijakan rehabilitasi hutan umumnya bersifat top-down. Politik
sumberdaya alam yang sentralistik di zaman orde baru bersifat represif dan
diskriminatif sehingga menimbulkan maraknya konflik atas sumberdaya hutan
antara masyarakat adat dengan pengusaha yang didukung pejabat
pemerintah.Beberapa di antara konflik tersebut disertai kekerasan karena
pemerintah dan pengusaha sering melibatkan aparat militer untuk meredam
konflik-konflik yang muncul.Konflik seperti ini menyebabkan banyak pelanggaran
hak azasi manusia. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti
mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi blokade jalan, pengambil-alihan
“base camp” sampai penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi
dan merusak ekosistem hutan yang secara turun-temurun menghidupi mereka, selalu
berujung pada tuduhan subversi, anti-pembangunan dan kriminalisasi. Selama tiga
dasawarsa terakhir, program rehabilitasi pemerintah tampaknya kurang berhasil.
Target pemerintah untuk merehabilitasi 18,7 juta ha dari tahun 1970-an hingga
tahun 2004 tidak tercapai, sehingga sisa hutan terdegradasi yang seharusnya
24,9 juta ha, sekarang justru menjadi dua kali lipat yaitu 43,6 juta ha.
Reformasi
tahun 1998 mengubah pola pengelolaan hutan dari pengelolaan hutan yang berbasis
perusahaan dan berskala besar menjadi pengelolaan hutan berbasis masyarakat
yang berskala lebih kecil. Kebijakan otonomi daerah di era reformasi
sebagaimana terwujud melalui pemberlakuan Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang
diubah dengan Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengubah arah kebijakan dan praktik sentralisme pengelolaan sumber daya alam
yang dominan di masa Orde Baru. Meskipun demikian, pemberlakuan kedua
undang-undang ini banyak pula menimbulkan persoalan dan dampak yang
negatif.Praktik koruptif pemerintah daerah dan kebijakan ekspolitasi sumber
daya alam terjadi hampir merata di seluruh Indonesia.
Penerbitan berbagai Peraturan Daerah
(Perda) tentang sumber daya alam dan izin- izin pemanfaatan sumber daya alam,
seperti Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik
(IPKTM) menjadi kecenderungan utama di daerah-daerah yang memiliki banyak
sumber daya hutan. Misalnya di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur, sejak
tahun 1999-2002 telah mengeluarkan 650 izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
Sementara di Kabupaten Bulungan, juga di provinsi yang sama, izin serupa telah
dikeluarkan sebanyak 300-an izin (Simarmata, R. dan Masiun, S., 2002). Hal
demikian juga terjadi pada sektor sumber daya alam lainnya.Tujuan pembuatan
Perda dan izin yang demikian adalah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) melalui pemungutan pajak dan retribusi dari pemanfaatan sumber daya
alam.Banyaknya pengeluaran berbagai izin tersebut disinyalir berakibat pada
timbulnya bencana alam seperti banjir dan longsor yang meningkat (Media
Indonesia, 24 Januari 2008).
Dengan
adanya Perda di bidang sumber daya alam terutama dalam bentuk perizinan, pajak
dan retribusi, maka pemerintah daerah dapat meningkatkan PAD. Di sisi lain, pola
itu mengakibatkan: (1) ekonomi biaya tinggi bagi investasi karena terdapat
pungutan ganda dalam usaha pemanfaatan sumber daya alam yang sebelumnya sudah
dipungut oleh pemerintah pusat; (2) tekanan ekonomi bagi masyarakat karena
pengusaha mengalihkan beban peningkatan pajak dan retribusi terhadap
pemanfaatan sumber daya alam kepada masyarakat yang menjadi konsumen dengan
menaikkan harga jual produk; (3) tekanan bagi masyarakat adat/local yang selama
ini sudah mengelola sumber daya alam sejak lama sebagai tradisi, karena Perda
yang lahir tidak menganggap keberadaan mereka atau membangun prosedur formal
baru yang membebani; serta (4) tidak terkendalinya pencemaran dan kerusakan
alam akibat eksploitasi sumber daya alam di daerah.
Otonomi
daerah dalam prakteknya adalah proses transfer kekuasaan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Kekuasaan atau kewenangan itu disambut oleh elit-elit
daerah untuk membangun kekuatan politik dan bisnis, dengan cara-cara meniru
praktik yang pernah digunakan oleh rezim pemerintahan Orde Baru. Cara-cara
tersebut diantaranya adalah: (1) menggunakan sumber daya alam sebagai basis
pendapatan ekonomi; (2) menaklukkan pimpinan lokal/kepala adat dengan
memformalisasi proses pengangkatan dan memberi fasilitas, termasuk uang; (3)
melemahkan posisi legislative atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan
melakukan sogokan dan penyuapan; (4) menggunakan cara-cara kekerasan dalam
menyelesaikan kasus; (5) terus melanjutkan praktik kolusi, korupsi dan
nepotisme; dan (6) mengiming-imingi investor dengan sejumlah insentif supaya
menanamkan modalnya.
7.
Lemahnya Kelembagaan pembangunan kehutanan
a.
Lemahnya hubungan pusat-daerah
Masalah pada kelembagaan adalah masih lemahnya hubungan
pusat-daerah.Masalah kehutanan tidak dapat segera dipecahkan, karena lembaga
yang ada tidak memberi prioritas pada upaya penyelesaian akar
masalahnya.Intensitas dan kapasitas pemerintah dalam mengelola kawasan
konservasi dan hutan lindung masih rendah, relatif terhadap besarnya persoalan
yang dihadapi.Kontraproduktif sering muncul akibat masalah kelembagaan yang
tidak mampu memberi solusi, peluang investasi dan pengembangan nilai tambah,
bahkan menyebabkan biaya transaksi tinggi.Lemahnya kelembagaan kehutanan pada
gilirannya merapuhkan sistem pengamanan asset sumberdaya hutan.Lembaga
pemerintah cenderung hanya menjalankan fungsi administrasi perizinan
pemanfaatan hutan. Permasalahan kelembagaan lainnya adalah belum ada
kebijakan yang kuat dan terarah untuk membentuk organisasi pemerintah yang
berfungsi mengelola hutan di tingkat lapangan, walaupun telah dimandatkan dalam
UU No. 41/1999.Akibatnya, dalam pelaksanaan pemanfaatan hutan tidak tersedia
informasi yang valid dan akurat.Dalam kenyataannya hutan dikuasai para pemegang
izin.Apabila izin berakhir atau tidak berjalan, hutan tersebut dalam kondisi
terbuka (open access) yang memudahkan siapapun memanfaatkannya tanpa kontrol
dan meyebakan terjadi kerusakan yang lebih besar.
b.
Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga
Kurangnya koordinasi antar lembaga yang menerbitkan ijin
penggunaan lahan menyebabkan terjadinya dualisme pengakuan/klaim atas
kepemilikan lahan. Sehingga terjadi konflik penggunaan lahan hutan yang
mengakibatkan tersingkirnya masyarakat setempat dari proses formal perijinan.
Konflik semakin lama semakin memanas sehingga dapat menjadi bom waktu yang
dapat mengakibatkan anarkis masyarakat local.Iklim investasi dan ekonomi
menjadi tidak kondusif di sektor kehutanan.
c. Kurang berkembangnya lembaga lokal
Kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan bersifat
“paternalistik” dan “sentralistik” karena itu lembaga-lembaga lokal kurang
dapat berperan. Hasil studi menunjukkan bahwa kelembagaan yang berkembang dalam
pengelolaan hutan memberi peran yang terlalu banyak kepada perusahaan HPH,
termasuk diantaranya pecan-peran non-ekonomis yang berkaitan dengan kelestarian
hutan. Sebagai swasta, perusahaan HPH terbukti cukup efektif mengusahakan
hutan, mengeksploitasi hutan dan mengubahnya menjadi uang dan devisa
pembangunan. Namun aktivitas-aktivitas non-ekonomis yang diperankan pengusaha
HPH cenderung tidak berhasil.Gangguan terhadap kelestarian hutan tidak
terjamin, kuantitas dan kualitas hutan terus-menerus merosot, dan distribusi
manfaat dari pengusahaan tidak sesuai dan seimbang dengan biaya yang ditanggung
oleh pihak-pihak yang terlibat.
8. Masalah Ketidakadilan
Kebijakan ekonomi khususnya dalam alokasi dan pengelolaan
kawasan hutan lebih memihak kepentingan investor daripada kepentingan ekologis,
dan social masyarakat local.Akibatnya dapat diamati sekarang kerusakan alam dan
kehancuran fungsi ekologis hutan dan merusak tatanan masyarakat adat yang hidup
beratus-ratus tahun di dalam dan sekitar hutan. Misalnya, sampai akhir 2009,
ijin-ijin dan hak sumberdaya hutan bagi masyarakat local kurang dari 400.000
Ha, sementara itu alokasi ijin bagi usaha besar pernah mencapai angka 60 juta
Ha pada tahun 1990an, kini sekitar 36 juta Ha (Kemenhut, 2010).
9.
Kesejahteraan Masyarakat Lokal Semakin Rendah
Kesejahteraan mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitar
hutan masih minim.Adapun angka ekonomi yang menyatakan adaya peningkatan
penghasilan hanya terjadi secara absolut.Sedangkan biaya hidup secara
keseluruhan di sekitar lokasi pengusahaan hutan meningkat lebih cepat
dibandingkan dengan peningkatan penghasilan mereka.Ini terutama karena semakin
sulitnya warga masyarakat mengakses ke hutan, dan ikut memanfaatkan hasil
hutan, meskipun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
(sayur-sayuran, buah, getah karat liar, dsb.).
10.
Pengabaian Terhadap Hak Masyarakat Lokal
Hasil evaluasi BPS (2007, 2009) menunjukkan adanya 19.420
desa di dalam kawasan hutan di 32 provinsi. Desa-desa tersebut terindikasi
berada di dalam kawasan Hutan Lindung sebanyak 6.243 desa, di dalam Hutan
Konservasi sebanyak 2.270 desa, di dalam kawasan Hutan Produksi sebanyak 7.467
desa dan di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas sebanyak 4.744 desa.
Disamping itu juga terdapat di dalam kawasan Hutan Produksi Konversi sebanyak
3.848 desa.Data tersbeut menunjukkan bahwasanya banyak desa yang dihuni oleh
masyarakat tradisional berada di kawasan hutan.Desa-desa tersebut umumnya
dihuni oleh masyarakat tradisional.
Di sisi lain, kebijakan kehutanan belum memberi kesempatan
bagi masyarakat tradisional dengan kearifan adatnya untuk mengelola hutan
secara berkelanjutan. Padahal kearifan adat local telah terbukti berhasil
dipraktekkan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun dalam melindungi kawasan
hutan.Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat
tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan
formal kehutanan. Bahkan sangat sedikit pakar, akademisi atau praktisi
pembangunan kehutanan yang mau mengakui bahwa sebagian besar masyarakat adat di
Indonesia telah menjadi korban pembangunan,.Kelompok ini masih sulit menerima
bahwa kemiskinan dan ketertindasan masyarakat adat yang ada saat ini justru
bersumber dari proyek-proyek pembangunan seperti HPH dan HTI, bukan karena
mereka malas atau tidak rasional.
Contoh pengabaian terhadap hak masyarakat lokal misalnya masyarakat dayak di Kalimantan. Masyarakat Dayak sering dituding sebagai perusak hutan karena mereka menerapkan perladangan berpindah.Perladangan berpindah sering dituding sebagai perusak hutan utama.Padahal menurut penelitian Lynch, Owen dan Harwell, Emily (2002) ternyata masyarakat Dayak tradisional melakukan perladangan daur ulang, bukannya membabat hutan dengan membabi-buta. Perladangan berpindah justru merupakan cara mereka untuk tetap memelihara kesuburan tanah. Tradisi berladang daur ulang ini selalu mensyaratkan penanaman jenis tumbuhan yang beraneka ragam sebagai strategi kelumintuan persediaan pangan. Berladang daur ulang ternyata memperkaya variasi jenis tumbuhan lain, seperti tumbuhan obat, racun, serta bahan peralatan dan bangunan. Jadi, pada hakekat-nya masyarakat Dayak melalui praktek ladang daur ulang, yang membantu melestarikan keanekaragaman plasma nutfah.
Contoh pengabaian terhadap hak masyarakat lokal misalnya masyarakat dayak di Kalimantan. Masyarakat Dayak sering dituding sebagai perusak hutan karena mereka menerapkan perladangan berpindah.Perladangan berpindah sering dituding sebagai perusak hutan utama.Padahal menurut penelitian Lynch, Owen dan Harwell, Emily (2002) ternyata masyarakat Dayak tradisional melakukan perladangan daur ulang, bukannya membabat hutan dengan membabi-buta. Perladangan berpindah justru merupakan cara mereka untuk tetap memelihara kesuburan tanah. Tradisi berladang daur ulang ini selalu mensyaratkan penanaman jenis tumbuhan yang beraneka ragam sebagai strategi kelumintuan persediaan pangan. Berladang daur ulang ternyata memperkaya variasi jenis tumbuhan lain, seperti tumbuhan obat, racun, serta bahan peralatan dan bangunan. Jadi, pada hakekat-nya masyarakat Dayak melalui praktek ladang daur ulang, yang membantu melestarikan keanekaragaman plasma nutfah.
11.
Pengabaian terhadap Nilai Ekologi.
Nilai Ekologi berupa jasa lingkungan hutan tidak pernah
dimasukkan kedalam perhitungan ekonomi.Akibatnya pemeliharaan hutan dalam
neraca ekonomi dianggap sebagai beban atau biaya bukan dianggap sebagai
investasi jangka panjang.Jasa lingkungan seperti; memelihara udara, menjaga
erosi dan banjir, menjaga keanekaragaman hayati, pendidikan, sumber plasma
nutfah, rekreasi, dan sebagainya belum dikonversi dalam bentuk kuantitatif
sehingga dapat dibandingkan dengan nilai ekonomisnya seperti kayu. Apabila
perbandingan tersebut didapatkan, dan kemudian ternyata nilai ekologisnya lebih
tinggi dari nilai ekonomi, maka dapat diperkirakan hutan tidak lagi mudah
dikonversi menjadi peruntukan lain. Dan alokasi anggaran negara untuk sektor
kehutanan tentunya juga akan meningkat.
2.2 KEBIJAKAN PEMERINTAH
Hutan dalam pengertian fisik adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Produk hukum pengelolaan
hutan di Indonesia dimulai setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Maka
dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata pengaturan
hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai suatu
negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Kebijakan
pembangunan kehutanan di Indonesia diawlai pada tahun 1957 yang ditandai dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957
No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra
Tingkat I. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan,
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU tersebut diundangkan, para pemilik
modal banyak menanamkan modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga)
daya tarik utama, yaitu:
a. Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di Indonesia dipandang
sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan dieksploitasi
mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional.
b. Pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas serta jaminan stabilitas
politik dan keamanan bagi investasi modal asing di dalam negeri.
c. Sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga dikenal murah untuk
mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.
Untuk mendukung peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam
negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun
instrumen hukum teknis dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan untuk melaksanakan ketentuan mengenai
pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber
daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP No. 18 Tahun 1975
tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).
Setelah Peraturan ini dikeluarkan, mulailah kegiatan eksploitasi sumber
daya hutan secara besar- besaran dilakukan pemerintah, terutama di pulau
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui
pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun modal dalam
negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun kepada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Tahun 1999 produk hukum Kehutanan kembali diperbaharui dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor : 41 tahun 1999 disertai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 dimana
Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan,
termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Dalam penjelasan, dijelaskan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan
hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu
mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang
lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan
datang.
Gugatan terhadap urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dianggap
terlalu sentralistis di zaman orde baru di jawab dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah No.62.1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang
kehutanan kepada daerah, meskipun masih menimbulkan perbedaan penafsiran di
lapangan.
Kebijakan selanjutnya yang keluar dalam periode implementasi UU 41/1999
adalah PP 6/1999 tanggal 27 Januari 1999. Ada beberapa poin penting dalam PP
ini adalah :
1. Pemberian HPH dengan luas lebih dari 50.000 hektar dilakukan melalui
pelelangan.
2. Ada pembatasan luas HPH yang dapat diberikan kepada suatu perusahaan.
3. Tanaman hasil HTI menjadi aset perusahaan yang mengusahakannya sepanjang
ijinnya masih berlaku.
4. Masa konsesi HPH Alam diperpanjang menjadi 20
tahun ditambah daur tanaman pokok, sedangkan masa konsesi HPH tanaman
diperpanjang menjadi 35 tahun ditambah daur tanaman pokok.
5. HPH bisa dipindahtangankan.
6. Koperasi dapat memperoleh HPH dan
7. Adanya kesatuan pengusahaan hutan produksi
(KPHP).
Adanya beberapa poin yang
kontroversial pada PP 6/1999 seperti HPH dapat digunakan sebagai jaminan,
kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan produk hukum baru yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. PP 35 tahun 2002 tentang
Dana Reboisasi, dan PP 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. Khususnya dalam
PP 34/2002, beberapa poin baru yang menarik adalah :
1. Pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan kawasan.
2. Kesatuan pengusahaan hutan produksi diubah
menjadi kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), disamping ada bentuk
kesatuan pengelolaan hutan yang berfungsi lain seperti KPHL untuk Hutan Lindung
dan KPHK untuk Hutan Konservasi,
3. Hak pengusahaan hutan diganti menjadi ijin usaha
pemanfaatan hasil hutan (IUPHH),
4.Pemberian wewenang pemberian ijin kepada
pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
Kaitannya dengan Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) terdapat kerancuan yang cukup mengganggu,
yaitu meskipun namanya ijin usaha pemanfaatan namun pemegang ijin usaha masih
dibebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya tergolong sebagai pekerjaan
pengelolaan hutan. Pemegang ijin usaha diwajibkan membayar dana reboisasi yang menjadi
pendapatan negara bukan pajak, tetapi pada saat yang sama pemegang ijin masih
diwajibkan untuk melakukan rehabilitasi hutan.
Sejak tahun 2003, penyusunan rencana kerja
didasarkan pada SK Menhut No.16/Kpts-II/2003 tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja
Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Alam. Secara umum dapat dikelompokkan ke dalam 4 tahap pelaksanaan yaitu
:
1. Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Usaha /
RKU;
2. Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Lima Tahun / RKL;
3. Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Tahunan / RKT; dan
4. Penetapan kuota produksi dan proses pengesahan RKT.
Dalam perkembangannya kemudian,
PP34/2002 direvisi menjadi PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Beberapa poin baru penting yang
terkandung dalam peraturan pemerintah yang baru ini adalah :
1. Diperkenalkannya Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
untuk memberi akses kepada masyarakat pada kawasan hutan.
2. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH)
sebagai wilayah pengelolaan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokok dan
peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari beserta penjabaran
detilnya.
3. Dihilangkannya pemberian IUPHHK melalui lelang.
4. Pembentukan lembaga keuangan untuk mendukung
pembangunan HTI dan HTR.
Berikut daftar beberapa kebijakan / produk hukum
yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan upaya pengelolaan hutan lestari
:
NO. JENIS PERATURAN TENTANG
1. UU No.41 Tahun 1999 Kehutanan.
2. UU N0.19 Tahun 2004 Tata Cara Pemberian Ijin Dan
Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Industr dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
3. PP No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan.
4. PP No. 6 Tahun 2007 Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah.
PP No. 38 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan.
5. Permenhut Nomor : 9/Menhut-II/2007 Rencana
Kerja, Rencana Kerja Tahunan, dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
6. Permenhut Nomor : P.01/Menhut-II/2008 Rencana
Strategis Kementrian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan.
7. Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2007 Rencana
Kerja dan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan
Alam dan Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi.
8. Permenhut Nomor : P.16/ Menhut-II/2007 Rencana
Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu.
9. Permenhut Nomor : P.19/ Menhut-II/2007 Tata Cara
Pemberian Ijin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
10. Permenhut Nomor : P.20/ Menhut-II/2007 Tata
Cara Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada
Hutan Produksi Melalui Permohonan.
11. Permenhut Nomor : P.23/ Menhut-II/2007 Tata
Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada
Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
NO. JENIS PERATURAN TENTANG
12. Permenhut Nomor : P.35/ Menhut-II/2007 Hasil
Hutan Bukan Kayu.
13. Permenhut Nomor : P.40/ Menhut-II/2007
Perubahan Permenhut No : P.6/ Menhut-II/2007.
14. Permenhut Nomor : P.41/ Menhut-II/2007
Perubahan Permenhut No. 9/Menhut-II/2007.
15. Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2008 Penyelenggaraan Statistik Kehutanan.
16. Permenhut Nomor : P.12/ Menhut-II/2008 Perubahan Kedua Permenhut No : P.20/
Menhut-II/2007.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1.
Terdapat
berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan deforestasi dan
degradasi hutan, antaralain;
·
Akibat Alam
·
Akibat Ulah Manusia
·
Akibat Kebijakan
·
Lemahnya Penegakan hokum
·
Kebijakan ekonomi
·
Perubahan politik
·
Lemahnya Kelembagaan pembangunan kehutanan
·
Masalah Ketidakadilan
·
Kesejahteraan Masyarakat Lokal Semakin Rendah
·
Pengabaian Terhadap Hak Masyarakat Lokal
·
Pengabaian terhadap Nilai Ekologi.
2. Daftar beberapa kebijakan / produk hukum yang
dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan upaya pengelolaan hutan lestari :
NO. JENIS PERATURAN TENTANG
1. UU No.41 Tahun 1999 Kehutanan.
2. UU N0.19 Tahun 2004 Tata Cara Pemberian Ijin Dan Perluasan Areal
Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industr dalam Hutan
Tanaman pada Hutan Produksi.
3. PP No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan.
4. PP No. 6 Tahun 2007 Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
PP No. 38 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan.
5. Permenhut Nomor : 9/Menhut-II/2007 Rencana Kerja, Rencana Kerja
Tahunan, dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
6. Permenhut Nomor : P.01/Menhut-II/2008 Rencana Strategis Kementrian
Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan.
7. Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2007 Rencana Kerja dan Rencana
Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam dan Restorasi
Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi.
8. Permenhut Nomor : P.16/ Menhut-II/2007 Rencana Pemenuhan Bahan Baku
Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu.
9. Permenhut Nomor : P.19/ Menhut-II/2007 Tata Cara Pemberian Ijin dan
Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman
pada Hutan Produksi.
10. Permenhut Nomor : P.20/ Menhut-II/2007 Tata Cara Pemberian Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui
Permohonan.
11. Permenhut Nomor : P.23/ Menhut-II/2007 Tata Cara Permohonan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada Hutan Tanaman Rakyat
dalam Hutan Tanaman.
NO. JENIS PERATURAN TENTANG
12. Permenhut Nomor : P.35/ Menhut-II/2007 Hasil Hutan Bukan Kayu.
13. Permenhut Nomor : P.40/ Menhut-II/2007 Perubahan Permenhut No :
P.6/ Menhut-II/2007.
14. Permenhut Nomor : P.41/ Menhut-II/2007 Perubahan Permenhut No.
9/Menhut-II/2007.
15. Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2008 Penyelenggaraan Statistik Kehutanan.
16. Permenhut Nomor : P.12/ Menhut-II/2008 Perubahan Kedua Permenhut No : P.20/
Menhut-II/2007.
3.2 DAFTAR PUSTAKA
·
http://www.pdashl.menlhk.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar