Jumat, 25 November 2016

Makalah Pancasila (Pelaksanaan Kepemimpinan di Indonesia)



PELAKSANAAN KEPEMIMPINAN DI
INDONESIA
(NKRI)






DISUSUN OLEH :
NAMA : RIZKA MAULITA
NIM : 11571204911
SEM / KELAS / PRODI : 1 / A /MANAJEMEN
MATA KULIAH : PANCASILA
DOSEN : Drs. H. Zamharil Yahya MM.


Universitas Islam Negeri Sultan Syarif  Kasim Riau
2015


      Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT  karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Pelaksanaan Kepemimpinan di Indonesia ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya  berterima kasih pada Bapak Drs. H. Zamharil Yahya MM  selaku Dosen mata kuliah Pancasila UIN SUSKA RIAU yang telah memberikan tugas ini kepada saya.

       Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan kita terhadap Pelaksanaan Kepemimpinan di Indonesia ini. Saya  juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna.

       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya  sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

                                                                                            Pekanbaru, 6 November 2015


                                                                                                                  Rizka Maulita














Manusia dalam kehidupan sehari-hari senantiasa mengalami dan merasakan kepemimpinan (leadership) dalam aneka macam bentuk, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Kepemimpinan juga dialami atau dirasakan dari para pemimpin berbagai organisasi yang mana kita menjadi anggotanya. Bahkan tidak jarang dalam praktek terlihat bahwa manusia kadang-kadang berada dalam posisi dualistis yaitu kadang-kadang sebagai pihak yang dipimpin dan pada saat atau kondisi lain ia justru bertindak sebagai pemimpin.
Walaupun aktifitas “menerima kepemimpinan” dan aktifitas “memberi kepemimpinan” merupakan dua macam aktifitas yang beberbeda, tetap kedua hal tersebut perlu dipelajari dan dihayati agar
·      Pihak yang memimpin dapat menjadi pemimpin yang baik.
·      Pihak yang dipimpin dapat menjadi pengikut yang baik.
Dalam kehidupan nyata kita mengenal aneka macam jenis pimpinan seperti
·      Pemimpin formal
·      Pemimpin informal
·      Pemimpin dalam bidang keagamaan
·      Pemimpin dalam bidang kependidikan
·      Pemimpin dalam bidang politik
·      Pemimpin dalam bidang pemerintahan
·      Pemimpin bidang keamanan
Dan pemimpin yang menangani bidang garapan mereka masing-masing.





        Dalam perkembangan di Indonesia yang menjadi tolak ukur adalah pemimpin. Pemimpin yang baik sangat berpengaruh terhadap kemajuan negara. Tidak sedikit masalah yang muncul menurut masyarakat adalah kelalaian dari pada pemimpin, padahal disisi lain masyarakatlah yang kurang dalam memahami masalah tersebut. Namun jika kita berbicara kepemimpinan di Indonesia maka sebenarnya kita telah menghadakan diri pada dua corak konsep tentang kesatuan sosial yang secara konkrit bisa berkaitan, tetapi secara konseptual berbeda, yaitu Indonesia dan Islam. sebagai suatu komunitas “Indonesia” adalah suatu konsep yang berarti ganda, yaitu negara dan bangsa. Sebagai “negara”, indonesia adalah ikatan sosial yang terbentuk karena adanya konsensus politik yang berlanjut. Karena adanya sistem kekuasaan yang sah. Dalam konteks ini maka hak dan kewajiban seseorang-bahkan status dan kedudukannya-ditentukan oleh hal-hal yang telah diletakkan oleh dasar konsensus politik teresebut. dengan demikian, pengertian kepemimpinan semestinyalah diletakkan pada corak hubungan sosial yang ditentukan oleh jauh atau dekatnya seseorang pada nilai dasar dari masyarakat politik itu. Dengan kata lain, makin dekat seseorang kepada pusat kekuasaan politik, maka makin tinggilah ia dalam hinarki sosial. Dalam lingkungan kepegawaian, kepemimpinan berarti bahwa seseorang yang menduduki hirarki yang tinggi adalah “pemimpin” bagi mereka yang menduduki jenjang hirarki yang lebih rendah. Sebagai “bangsa”, kita tak hanya berhadapan dengan kesadaran politik baru yang telah melampaui batas-batas etnis, tetapi juga pada suatu komuitas yang dibina berdasarkan nilai-nilai yang diserap dari pengalaman sejarah. Pemimpin dan kepemimpinannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia dan berperan sentral dalam menjalankan roda organisasi. Bahkan, pemimpin dengan kepemimpinannya menentukan maju atau mundurnya suatu organisasi, dan dalam lingkup lebih luas menentukan jatuh dan bangunnya suatu bangsa dan negara. Yang masuk dalam kategori dan saluran kepemimpinan.

B. Konsep Kepemimpinan di Indonesia

Pada dasarnya kepemimpinan di Indonesia adalah kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai pancasila (Kepemimpinan Pancasila).

 1.Konsep Kepemimpinan Pancasila
Pada dasarnya kepemimpinan di Indonesia adalah kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai pancasila (Kepemimpinan Pancasila).Kepemimpinan pancasila mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kepemimpinanya, baik itu nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Secara lebih terperinci akan dijelaskan sebagai berikut:
Kepemimpinan Thesis adalah kepemimpinan yang religius dan melaksanakan hal-hal yang harus diperbuat yang diperintahkan Tuhannya, dan menjauhkan diri dari setiap larangan Tuhan dan agamanya. Kepemimipinan ini didasarkan pada sila pertama yaitu ke-Tuhanan Yang Maha Esa.  Kepemimpinan tipe thesis ini biasanya dimainkan oleh tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh religius dan pemimpin yang taat pada aturan agamanya. Ajaran-ajaran agama menjadi tolak ukur setiap tindakan yang diambil oleh pemimpin yang seperti ini. Konsep kepemimpinan thesis ini sangat susah diterapkan karena merupakan konsep ideal suatu kepemimpinan, dan merupakan das sein namun das sollennya tidak semua pemimpin mampu mewujudkannya. Kepemimpinan tipe ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya, misalnya islam dengan gaya nabi panutannya yaitu Nabi Muhammad, kemudian Kristen dengan tokoh panutannya yaitu Jesust Crist, serta  Hindu dan Budha dengan Dewa yang mereka yakini sebagai tokoh panutan dalam bertindak.

1.      Kepemimpinan yang humanis
Kepemimpinan model ini berdasarkan sila ke-2 pancasila kita yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka setiap tindakan kepemimpinan harus berdasarkan perikemanusiaan, perikeadaban dan perikeadilan. Perikemanusiaan diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan nilai-niali kemanusiaan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Perikeadaban dimaksudkan sebagai nilai-nilai manusia yang beradab, yang memiliki etika sosial yang kuat dan menjunjung tinggi kebersamaan yang harmonis. Kemudian perikeadilan dianggap sebagai prilaku pemimpin yang adil kepada setiap orang yang dipimpinnya, adil bukan berarti sama rata, namun adil sesuai dengan hak dan kewajibannya atau sesuai dengan porsinya. Praktek kepemimpinan model ini juga tidak gampang, perlu pembelajaran dan penghayatan yang mendalam dan harus tertanam dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari para pemimpin model ini.

2.      Kepemimpinan yang unitaris atau nasionalis
Kepemimpinan yang mengacu pada sila ke-3 ini yaitu persatuan indonesia tidak boleh melepaskan diri dari nasionalisme yang sehat. Nasionalisme diartikan sebagai kesetiaan tertinggi dari setiap inividu ditujukan kepada kepribadian bangsa.

3.      Kepemimpinan demokratik
Kepemimpinan administratif yang mengacu pada sila ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan atau dengan kata lain adalah kepemimpinan demokratis pancasila.

4.       Kepemimpinan social justice
Kepemimpinan yang didasarkan pada sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Kepemimpinan berkeadilan itulah konsep dasar teori ini, adil dalam hal ini bukan sama rata dan sama rasa, namu lebih pada adil yang sesuai dengan hak dan kewajibannya, harus proporsional, oleh karena itu untuk menerapkan kepemimpinan ini perlu strategi yang tepat untuk mengasah kemampuan membuat suatu kebijaksanaan yang benar-benar bijaksana. Pemimpin yang menganut paham ini harus pandai membaca situasi, harus pandai mencari kearifan dan menemukan hal-hal yang tidak pernah dikemukakan orang lain yang benar-benar sesuai dengan kondisi masyarakat.
Sumber Kepemimpinan Pancasila 
Ada tiga sumber pokok Kepemimpinan Pancasila, yaitu:
1.      Pancasila, UUD 1945, dan GBHN
2.      Nilai-nilai kepemimpinan universal
3.      Nilai-nilai spiritual nenek moyang.  Hal-hal yang dapat dianggap sebagai sumber kepemimpinan Pancasila antara lain berupa :
a. Nilai-nilai positif dari modernism
b. Intisari dari warisan pusaka berupa nilai-nilai dan norma-norma kepemimpinan yang ditulis oleh para nenek moyang.
c. Refleksi dan kontemplasi mengenai hakikat hidup dan tujuan hidup bangsa pada era pembangunan dan zaman modern, sekaligus juga refleksi mengenai pribadi selaku ”manusia utuh” yang mandiri dan bertanggung jawab dengan misi hidupnya masing-masing.

2. Pemimpin Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia 
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila mengandung nilai moral yang positif bagi bangsa. Mulai dari sila pertama sampai kelima sangat jelas menggambarkan moral luhur bagi suatu negara yang menganutnya.Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berkepribadian Indonesia, yaitu berlandaskan pada nilai luhur Pancasila. Ciri utama dari kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kapemimpinan yang selalu bersumber dan berlandaskan pada nilai luhur dan norma Pancasila dalam segala tindak tanduknya, dengan ditunjukkan dengan sikap yang menekan kepentingan pribadi dan menjunjung kepentingan umat.
Terdapat 11 karakteristik yang harus dimiliki dan yang dapat mencerminkan kepemimpinan Pancasila. Karakter yang pertama adalah Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esamenjadi ciri seorang pemimpin Pancasila. Kesadaran beragama dan keimanan, akan menjadikan orang tidak merasa lebih tinggi dari orang lain, sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan terhadap sesama. Keimanan terhadap agamapun membuat orang akan selalu berbuat adil, benar, jujur, sabar dan rendah hati.
Karakteristik yang kedua yaitu pemimpin harus memberikan teladan/ contoh yang baik kepada bawahan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berani berjalan di depan, dengan keberanian dan tekad yang tinggi seorang pemimpin berani untuk bekerja lebih dari pada bawahannya yang dapat menjadi panutan .Karakteristik ketiga seorang pemimpin harus dapat membangun motivasi dan kemauan. Pemimpin mempunyai peran untuk tetap memberikan dorongan kepada bawahannya sebagai penyemangat dalam kinerjanya. Disini pemimpin juga harus bisa berada di tengah-tengah, maksudnya pemimpin harus bisa berjalan dan berjuang bersama dengan bawahan demi mencapai tujuan bersama, tidak sekedar memerintahkan saja tanpa tahu bagaimana kondisi di lapangan sebenarnya.
Memberikan kekuatan merupakan karakteristik yang keempat dari seorang pemimpin Pancasila. Maksudnya yaitu seorang pemimpin harus memberikan kesempatan kepada bawahan untuk bisa mandiri dalam berkarya dan berkreasi dalam kinerjanya. Ini bukan berarti seorang pemimpin hanya tumpang kaki saja, tapi tetap mengawasi dari belakang terhadap kinerja bawahan dan sesekali memberikan arahan jika diperlukan.
Karakteristik yang kelima adalah waspada dan berkuasa. Pemimpin harus mempunyai ketajaman penglihatan dan bisa meramalkan masa depan, sehingga nantinya dapat mempengaruhi segala tindakan dan keputusan yang diambil. Pemimpin juga harus dapat berkuasa dalam membina, mengarahkan dan mengawasi bawahannya.
Selanjutnya masuk kedalam karakteristik yang keenam, yaitu pemimpin harus mempunyai sifat-sifat terpuji. Murah hati, dermawan, mulia, murni dan baik hati merupakan cerminan akhlak dari seorang pemimpin Pancasila yang menjunjung tinggi nilai dan norma luhur dari Pancasila.Bersifat sederhana merupakan karakteristik yang ketujuh. Pemimpin harus bersifat sederhana, terus terang, blak-blakan, tulus, lurus, ikhlas, benar, mustakim dan toleran. Dengan semua sifat tersebut dapat mencerminkan seorang pemimpin yang tidak berlebih-lebihan baik dalam gaya hidup atau hal lainnya, dan juga akan terhindar dari sifat tamak.Karakteristik yang selanjutnya adalah setia. Pemimpin Pancasila selalu setia dengan apa yang keluar dari mulutnya. Banyak bukti daripada janji yang tersebar dimana-mana.Karakteristik kesembilan yaitu hemat, cermat dan hati-hati. Pemimpin Pancasila selalu hemat dalam arti efektif dan efisien dalam kinerjanya, selalu berbuat yang benar dan tepat, tidak membuang waktu, tenaga dan pikiran untuk hal yang kurang penting. Dalam segala tindakannya pun pemimpin selalu mencermati terlebih dahulu kebermanfaatannya dan dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan segala resiko yang akan ditimbulkannya.Karakteristik yang kesepuluh adalah terbuka atau komunikatif. Pemimpin pancasila harus bersifat terbuka, baik itu terbuka dalam konteks menerima semua gagasan, ide dan pendapat dari bawahan, ataupun terbuka dalam menginformasikan segala aspek yang berkaitan dengan bawahannya. Semua ini akan menciptakan suasana kerja yang kondusif, dan dapat menciptakan komunikasi dua arah.Karakteristik yang terakhir yaitu seorang pemimpin harus besifat legawa (rela, tulus dan ikhlas). Pemimpin Pancasila akan selalu bersifat legawa dalam menyikapi suatu hal. Selalu memaafkan kepada pihak yang bersalah dan tidak menyimpan rasa dendam sedikitpun. Sifat ini akan menghindarkan pemimpin dari terancamnya mempunyai konflik yang berkepanjangan dengan orang lainSetelah kita mengetahui karakteristik seorang Pemimpin Pancasila di atas, secara singkat menokohkan figur pemimpin sebagai Kesatria Sejati, betapa beratnya tugas dan peran seorang pemimpin. Tanggungjawabnya pun betapa berat terhadap hidup sesama, masyarakat umum dan terhadap nusa serta bangsa. Jika seluruh tugas dan peran seorang pemimpin dapat dijalankan dengan optimal, maka akan membuahkan hasil yang optimal pula terhadap hasil kepemimpinannya.

C. Landasan Kepemimpinan Pancasila
Selanjutnya, pada tingkat, jenjang serta di bidang apa pun, pemimpin harus mempunyai landasan pokok berupa nilai-nilai moral kepemimpinan, seperti yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Keempat macam landasan pokok kepemimpinan itu ialah :
1. Landasan diplomasi (bersumber pada ajaran almarhum Dr. R. Sosrokartono ):
a) Sugih tanpa banda (kaya tanpa harta benda)
b) Nglurung tanpa bala (melurug tanpa balatentara)
c) Menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan)
d) Weweh tanpa kelangan (memberi tanpa merasa kehilangan)
2. Landasan Kepemimpinan
a) Sifat ratu/raja: bijaksana, adil, ambeg paramarta, konsekuen dalam janjinya.
b) Sifat pandita: membelakangi kemewahan dunia, tidak punya interest-interest, dapat melihat jauh kedepan/waskita
c) Sifat petani: jujur, sederhana, tekun, ulet, blaka
d) Sifat guru : memberikan teladan baik.
3. Landasan Pengabdian (Sri Mangkunegara 1)
a) Ruwangsa handarbeni (merasa ikut memiliki negara)
b) Wajib melu angrungkebi (wajib ikut bela negara)
c) Mulat Sarira hangrasa wani (mawas diri untuk bersikap berani)

D. Kekuasaan dan Pengaruh Aplikasinya dalam Kepemimpinan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
2.      Legitimasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan
·         Menurut Inu Kencana, seseorang memperoleh kekuasaan dalam beberapa cara yaitu melalui legitimate power, coersive power, expert power, reward power dan revernt power.
·         Kekuasaan dapat dibagi dalam istilah eka praja, dwi praja, tri praja, catur praja dan panca praja. Sedangkan pemisahan kekuasaannya secara ringkat dibagi dalam rule making function, rule application function, rule adjudication function (menurut Gabriel Almond); kekuasaan legislatif,,kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif (menurut montesquieu);kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif (menurut John Locke); wetgeving, bestuur, politie, rechtsspraak dan bestuur zorg (menurut Lemaire); kekuasaan konstitutif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan inspektif dan kekuasaan konstultatif (menurut UUD 1945).

a.Pengertian Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.

b. Pembagian Kekuasaan
Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
Ø  Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
Ø  Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Ø  Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.

Ø   Konsep Trias Politica Montesquieu(1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu). Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.

C. Pembagian Kekuasaan di Indonesia
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata.
 Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.


















Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama.
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MODAL KERJA DALAM KEUANGAN SYARIAH

MODAL KERJA DALAM KEUANGAN SYARIAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembiayaan merupakan salah satu tugas po...