PELAKSANAAN KEPEMIMPINAN DI
INDONESIA
(NKRI)
DISUSUN OLEH :
NAMA : RIZKA MAULITA
NIM : 11571204911
SEM / KELAS / PRODI : 1 / A /MANAJEMEN
MATA KULIAH : PANCASILA
DOSEN : Drs. H. Zamharil Yahya MM.
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
2015
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Pelaksanaan
Kepemimpinan di Indonesia ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga saya berterima
kasih pada Bapak Drs.
H. Zamharil Yahya MM selaku
Dosen mata kuliah Pancasila UIN SUSKA RIAU yang telah memberikan tugas ini
kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan kita terhadap Pelaksanaan Kepemimpinan di Indonesia ini. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Pekanbaru, 6 November 2015
Rizka Maulita
Manusia dalam kehidupan sehari-hari
senantiasa mengalami dan merasakan kepemimpinan (leadership) dalam aneka macam
bentuk, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Kepemimpinan juga
dialami atau dirasakan dari para pemimpin berbagai organisasi yang mana kita
menjadi anggotanya. Bahkan tidak jarang dalam praktek terlihat bahwa manusia
kadang-kadang berada dalam posisi dualistis yaitu kadang-kadang sebagai pihak
yang dipimpin dan pada saat atau kondisi lain ia justru bertindak sebagai
pemimpin.
Walaupun aktifitas “menerima
kepemimpinan” dan aktifitas “memberi kepemimpinan” merupakan dua macam
aktifitas yang beberbeda, tetap kedua hal tersebut perlu dipelajari dan
dihayati agar
·
Pihak yang
memimpin dapat menjadi pemimpin yang baik.
·
Pihak yang
dipimpin dapat menjadi pengikut yang baik.
Dalam kehidupan nyata kita mengenal
aneka macam jenis pimpinan seperti
·
Pemimpin
formal
·
Pemimpin
informal
·
Pemimpin
dalam bidang keagamaan
·
Pemimpin
dalam bidang kependidikan
·
Pemimpin
dalam bidang politik
·
Pemimpin
dalam bidang pemerintahan
·
Pemimpin
bidang keamanan
Dan pemimpin yang menangani bidang garapan mereka masing-masing.
Dalam perkembangan di Indonesia yang menjadi tolak ukur adalah pemimpin. Pemimpin
yang baik sangat berpengaruh terhadap kemajuan negara. Tidak sedikit masalah
yang muncul menurut masyarakat adalah kelalaian dari pada pemimpin, padahal
disisi lain masyarakatlah yang kurang dalam memahami masalah tersebut. Namun
jika kita berbicara kepemimpinan di Indonesia maka sebenarnya kita telah
menghadakan diri pada dua corak konsep tentang kesatuan sosial yang secara
konkrit bisa berkaitan, tetapi secara konseptual berbeda, yaitu Indonesia dan
Islam. sebagai suatu komunitas “Indonesia” adalah suatu konsep yang
berarti ganda, yaitu negara dan bangsa. Sebagai “negara”,
indonesia adalah ikatan sosial yang terbentuk karena adanya konsensus politik
yang berlanjut. Karena adanya sistem kekuasaan yang sah. Dalam konteks ini maka
hak dan kewajiban seseorang-bahkan status dan kedudukannya-ditentukan oleh
hal-hal yang telah diletakkan oleh dasar konsensus politik teresebut. dengan
demikian, pengertian kepemimpinan semestinyalah diletakkan pada corak hubungan
sosial yang ditentukan oleh jauh atau dekatnya seseorang pada nilai dasar dari
masyarakat politik itu. Dengan kata lain, makin dekat seseorang kepada pusat
kekuasaan politik, maka makin tinggilah ia dalam hinarki sosial. Dalam
lingkungan kepegawaian, kepemimpinan berarti bahwa seseorang yang menduduki
hirarki yang tinggi adalah “pemimpin” bagi mereka yang menduduki jenjang
hirarki yang lebih rendah. Sebagai “bangsa”, kita tak hanya berhadapan
dengan kesadaran politik baru yang telah melampaui batas-batas etnis, tetapi
juga pada suatu komuitas yang dibina berdasarkan nilai-nilai yang diserap dari
pengalaman sejarah. Pemimpin dan kepemimpinannya merupakan sesuatu yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia dan berperan sentral dalam
menjalankan roda organisasi. Bahkan, pemimpin dengan kepemimpinannya menentukan
maju atau mundurnya suatu organisasi, dan dalam lingkup lebih luas menentukan
jatuh dan bangunnya suatu bangsa dan negara. Yang masuk dalam kategori dan
saluran kepemimpinan.
B. Konsep Kepemimpinan di Indonesia
Pada
dasarnya kepemimpinan di Indonesia adalah kepemimpinan yang berlandaskan
nilai-nilai pancasila (Kepemimpinan Pancasila).
1.Konsep Kepemimpinan Pancasila
Pada dasarnya kepemimpinan di
Indonesia adalah kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai pancasila
(Kepemimpinan Pancasila).Kepemimpinan pancasila mengisyaratkan bahwa seorang
pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam
kepemimpinanya, baik itu nilai keTuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan,
nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Secara lebih terperinci akan dijelaskan
sebagai berikut:
Kepemimpinan Thesis adalah
kepemimpinan yang religius dan melaksanakan hal-hal yang harus diperbuat yang
diperintahkan Tuhannya, dan menjauhkan diri dari setiap larangan Tuhan dan
agamanya. Kepemimipinan ini didasarkan pada sila pertama yaitu ke-Tuhanan Yang
Maha Esa. Kepemimpinan tipe thesis ini biasanya dimainkan oleh
tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh religius dan pemimpin yang taat pada aturan
agamanya. Ajaran-ajaran agama menjadi tolak ukur setiap tindakan yang diambil
oleh pemimpin yang seperti ini. Konsep kepemimpinan thesis ini sangat susah
diterapkan karena merupakan konsep ideal suatu kepemimpinan, dan merupakan das
sein namun das sollennya tidak semua pemimpin mampu mewujudkannya. Kepemimpinan
tipe ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya, misalnya islam
dengan gaya nabi panutannya yaitu Nabi Muhammad, kemudian Kristen dengan tokoh
panutannya yaitu Jesust Crist, serta Hindu dan Budha dengan Dewa yang
mereka yakini sebagai tokoh panutan dalam bertindak.
1. Kepemimpinan
yang humanis
Kepemimpinan model ini
berdasarkan sila ke-2 pancasila kita yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Maka setiap tindakan kepemimpinan harus berdasarkan perikemanusiaan,
perikeadaban dan perikeadilan. Perikemanusiaan diartikan sebagai suatu tindakan
yang didasarkan nilai-niali kemanusiaan yang menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia. Perikeadaban dimaksudkan sebagai nilai-nilai manusia yang beradab,
yang memiliki etika sosial yang kuat dan menjunjung tinggi kebersamaan yang
harmonis. Kemudian perikeadilan dianggap sebagai prilaku pemimpin yang adil
kepada setiap orang yang dipimpinnya, adil bukan berarti sama rata, namun adil
sesuai dengan hak dan kewajibannya atau sesuai dengan porsinya. Praktek
kepemimpinan model ini juga tidak gampang, perlu pembelajaran dan penghayatan
yang mendalam dan harus tertanam dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari para
pemimpin model ini.
2. Kepemimpinan
yang unitaris atau nasionalis
Kepemimpinan yang mengacu pada
sila ke-3 ini yaitu persatuan indonesia tidak boleh melepaskan diri dari
nasionalisme yang sehat. Nasionalisme diartikan sebagai kesetiaan tertinggi
dari setiap inividu ditujukan kepada kepribadian bangsa.
3. Kepemimpinan
demokratik
Kepemimpinan administratif
yang mengacu pada sila ke-4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan atau dengan kata lain adalah
kepemimpinan demokratis pancasila.
4. Kepemimpinan social justice
Kepemimpinan yang didasarkan
pada sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Kepemimpinan berkeadilan itulah konsep dasar teori ini, adil dalam hal ini
bukan sama rata dan sama rasa, namu lebih pada adil yang sesuai dengan hak dan
kewajibannya, harus proporsional, oleh karena itu untuk menerapkan kepemimpinan
ini perlu strategi yang tepat untuk mengasah kemampuan membuat suatu
kebijaksanaan yang benar-benar bijaksana. Pemimpin yang menganut paham ini
harus pandai membaca situasi, harus pandai mencari kearifan dan menemukan
hal-hal yang tidak pernah dikemukakan orang lain yang benar-benar sesuai dengan
kondisi masyarakat.
Sumber Kepemimpinan
Pancasila
Ada tiga sumber pokok
Kepemimpinan Pancasila, yaitu:
1.
Pancasila, UUD 1945, dan GBHN
2.
Nilai-nilai kepemimpinan universal
3.
Nilai-nilai spiritual nenek moyang. Hal-hal yang dapat dianggap
sebagai sumber kepemimpinan Pancasila antara lain berupa :
a. Nilai-nilai positif dari
modernism
b. Intisari dari warisan
pusaka berupa nilai-nilai dan norma-norma kepemimpinan yang ditulis oleh para
nenek moyang.
c. Refleksi dan kontemplasi
mengenai hakikat hidup dan tujuan hidup bangsa pada era pembangunan dan zaman
modern, sekaligus juga refleksi mengenai pribadi selaku ”manusia utuh” yang
mandiri dan bertanggung jawab dengan misi hidupnya masing-masing.
2. Pemimpin Pancasila sebagai Kepribadian
Bangsa Indonesia
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia.
Pancasila mengandung nilai moral yang positif bagi bangsa. Mulai dari sila
pertama sampai kelima sangat jelas menggambarkan moral luhur bagi suatu negara
yang menganutnya.Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berkepribadian
Indonesia, yaitu berlandaskan pada nilai luhur Pancasila. Ciri utama dari
kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kapemimpinan yang selalu bersumber dan
berlandaskan pada nilai luhur dan norma Pancasila dalam segala tindak
tanduknya, dengan ditunjukkan dengan sikap yang menekan kepentingan pribadi dan
menjunjung kepentingan umat.
Terdapat 11
karakteristik yang harus dimiliki dan yang dapat mencerminkan
kepemimpinan Pancasila. Karakter yang pertama adalah Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esamenjadi ciri seorang
pemimpin Pancasila. Kesadaran beragama dan keimanan, akan menjadikan orang
tidak merasa lebih tinggi dari orang lain, sehingga akan timbul rasa kasih
sayang dan rasa persaudaraan terhadap sesama. Keimanan terhadap agamapun
membuat orang akan selalu berbuat adil, benar, jujur, sabar dan rendah hati.
Karakteristik yang kedua
yaitu pemimpin harus memberikan
teladan/ contoh yang baik kepada bawahan. Pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang berani berjalan di depan, dengan keberanian dan tekad yang tinggi
seorang pemimpin berani untuk bekerja lebih dari pada bawahannya yang dapat
menjadi panutan .Karakteristik ketiga seorang pemimpin harus dapat membangun motivasi dan kemauan.
Pemimpin mempunyai peran untuk tetap memberikan dorongan kepada bawahannya
sebagai penyemangat dalam kinerjanya. Disini pemimpin juga harus bisa berada di
tengah-tengah, maksudnya pemimpin harus bisa berjalan dan berjuang bersama
dengan bawahan demi mencapai tujuan bersama, tidak sekedar memerintahkan saja
tanpa tahu bagaimana kondisi di lapangan sebenarnya.
Memberikan
kekuatan
merupakan karakteristik yang keempat dari seorang pemimpin Pancasila. Maksudnya
yaitu seorang pemimpin harus memberikan kesempatan kepada bawahan untuk bisa
mandiri dalam berkarya dan berkreasi dalam kinerjanya. Ini bukan berarti
seorang pemimpin hanya tumpang kaki saja, tapi tetap mengawasi dari
belakang terhadap kinerja bawahan dan sesekali memberikan arahan jika
diperlukan.
Karakteristik yang kelima
adalah waspada dan berkuasa.
Pemimpin harus mempunyai ketajaman penglihatan dan bisa meramalkan masa depan,
sehingga nantinya dapat mempengaruhi segala tindakan dan keputusan yang
diambil. Pemimpin juga harus dapat berkuasa dalam membina, mengarahkan dan
mengawasi bawahannya.
Selanjutnya masuk kedalam
karakteristik yang keenam, yaitu pemimpin harus mempunyai sifat-sifat terpuji. Murah hati, dermawan, mulia,
murni dan baik hati merupakan cerminan akhlak dari seorang pemimpin Pancasila
yang menjunjung tinggi nilai dan norma luhur dari Pancasila.Bersifat sederhana merupakan
karakteristik yang ketujuh. Pemimpin harus bersifat sederhana, terus terang,
blak-blakan, tulus, lurus, ikhlas, benar, mustakim dan toleran. Dengan semua
sifat tersebut dapat mencerminkan seorang pemimpin yang tidak berlebih-lebihan
baik dalam gaya hidup atau hal lainnya, dan juga akan terhindar dari sifat
tamak.Karakteristik yang selanjutnya adalah setia. Pemimpin Pancasila selalu setia dengan apa yang keluar
dari mulutnya. Banyak bukti daripada janji yang tersebar
dimana-mana.Karakteristik kesembilan yaitu hemat, cermat dan hati-hati. Pemimpin Pancasila selalu hemat
dalam arti efektif dan efisien dalam kinerjanya, selalu berbuat yang benar dan
tepat, tidak membuang waktu, tenaga dan pikiran untuk hal yang kurang penting.
Dalam segala tindakannya pun pemimpin selalu mencermati terlebih dahulu
kebermanfaatannya dan dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan segala
resiko yang akan ditimbulkannya.Karakteristik yang kesepuluh adalah terbuka atau komunikatif. Pemimpin
pancasila harus bersifat terbuka, baik itu terbuka dalam konteks menerima semua
gagasan, ide dan pendapat dari bawahan, ataupun terbuka dalam menginformasikan
segala aspek yang berkaitan dengan bawahannya. Semua ini akan menciptakan
suasana kerja yang kondusif, dan dapat menciptakan komunikasi dua
arah.Karakteristik yang terakhir yaitu seorang pemimpin harus besifat legawa (rela, tulus dan ikhlas).
Pemimpin Pancasila akan selalu bersifat legawa dalam menyikapi suatu hal.
Selalu memaafkan kepada pihak yang bersalah dan tidak menyimpan rasa dendam
sedikitpun. Sifat ini akan menghindarkan pemimpin dari terancamnya mempunyai
konflik yang berkepanjangan dengan orang lainSetelah kita mengetahui
karakteristik seorang Pemimpin Pancasila di atas, secara singkat menokohkan
figur pemimpin sebagai Kesatria
Sejati, betapa beratnya tugas dan peran seorang pemimpin.
Tanggungjawabnya pun betapa berat terhadap hidup sesama, masyarakat umum dan
terhadap nusa serta bangsa. Jika seluruh tugas dan peran seorang pemimpin dapat
dijalankan dengan optimal, maka akan membuahkan hasil yang optimal pula terhadap
hasil kepemimpinannya.
C. Landasan Kepemimpinan Pancasila
Selanjutnya, pada tingkat,
jenjang serta di bidang apa pun, pemimpin harus mempunyai landasan pokok berupa
nilai-nilai moral kepemimpinan, seperti yang telah diwariskan oleh nenek moyang
bangsa Indonesia. Keempat macam landasan pokok kepemimpinan itu ialah :
1. Landasan diplomasi
(bersumber pada ajaran almarhum Dr. R. Sosrokartono ):
a) Sugih tanpa banda (kaya
tanpa harta benda)
b) Nglurung tanpa bala
(melurug tanpa balatentara)
c) Menang tanpa ngasorake
(menang tanpa mengalahkan)
d) Weweh tanpa kelangan
(memberi tanpa merasa kehilangan)
2. Landasan Kepemimpinan
a) Sifat ratu/raja: bijaksana,
adil, ambeg paramarta, konsekuen dalam janjinya.
b) Sifat pandita: membelakangi
kemewahan dunia, tidak punya interest-interest, dapat melihat jauh kedepan/waskita
c) Sifat petani: jujur,
sederhana, tekun, ulet, blaka
d) Sifat guru : memberikan
teladan baik.
3. Landasan Pengabdian (Sri
Mangkunegara 1)
a) Ruwangsa handarbeni (merasa
ikut memiliki negara)
b) Wajib melu angrungkebi
(wajib ikut bela negara)
c) Mulat Sarira hangrasa wani (mawas diri untuk
bersikap berani)
D. Kekuasaan dan
Pengaruh Aplikasinya dalam Kepemimpinan
Kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang
atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002)
Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
2. Legitimasi
Kekuasaan Dalam Pemerintahan
·
Menurut
Inu Kencana, seseorang memperoleh kekuasaan dalam beberapa cara yaitu melalui
legitimate power, coersive power, expert power, reward power dan revernt power.
·
Kekuasaan dapat dibagi dalam istilah
eka praja, dwi praja, tri praja, catur praja dan panca praja. Sedangkan
pemisahan kekuasaannya secara ringkat dibagi dalam rule making function, rule
application function, rule adjudication function (menurut Gabriel Almond);
kekuasaan legislatif,,kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif (menurut
montesquieu);kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif
(menurut John Locke); wetgeving, bestuur, politie, rechtsspraak dan bestuur
zorg (menurut Lemaire); kekuasaan konstitutif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan inspektif dan kekuasaan konstultatif
(menurut UUD 1945).
a.Pengertian
Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
b. Pembagian Kekuasaan
Pada hakekatnya pembagian
kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
Ø
Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan
menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat
pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah
dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian dalam suatu suatu negara federal.
Ø
Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan
menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan
antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Ø Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan,
berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali
raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan
dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan
perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah,
maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan
individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan
tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di
tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut
adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting
yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin
menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit
undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang
dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat
jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya.
Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan
dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam
hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan
tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan
ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau
kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di
masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi
politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan
sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada
raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3
kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan
kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian
Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan
Perancisnya, Montesquieu.
Ø Konsep Trias Politica
Montesquieu(1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu). Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu). Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.
C. Pembagian Kekuasaan di Indonesia
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata.
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata.
Beberapa yang mendukung hal itu antara lain
adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang
lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama.
Pembagian kekuasaan terdiri
dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Pembagian memiliki pengertian
proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu
memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas
sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.
Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang
yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi
beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada
beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada
satu pihak/ lembaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar